Rakyat & Wakil Rakyat, Lelucon Politik Kucing Demokrat Sejati
Sekarang rakyat menjadi bagian terpenting dalam ramai-ramai masa menjelang Pilpres. Memang, dalam demokrasi rakyat adalah aktor utama. Tapi, keaktoran rakyat sering terabaikan setelah pesta demokrasi selesai.
Ya, memang begitu kodratnya. Lazimnya? Ah, memang tidak lazim dalam tataran ideal. Tapi, dalam tataran praktis politik, hal itu suatu kenyataan.
Karena itu, produksi lelucon terus bisa kita baca. Kali ini, renungan dari humor politik tentang "Rakyat dan Wakil Rakyat" menjadi khusus karena disajikan dalam dialog antara murid SD dan gurunya. Bentuk inilah yang juga cukup menarik, saat kita membahas masa lalu, saat kejayaan komunisme di Uni Soviet.
Rakyat dan Wakil Rakyat
Di sebuah Sekolah Dasar sedang diterapkan sebuah mata pelajaran baru: PMWR. PMWR kepanjangan istilah Pelajaran Mengenal Wakil Rakyat.
Suatu hari, si Guru memulainya dengan memberikan beberapa pertanyaan pada murid-muridnya.
Guru : "Bupati dan wakil bupati, manakah yang lebih tinggi dan harus dihormati?"
Murid: "Bupati, Bu!!!"
Guru : "Gubernur dan wakil gubernur, manakah yang lebih tinggi dan harus dihormati?"
Murid: "Gubernur, Bu!!"
Guru : "Presiden dan wakil presien, manakah yang lebih tinggi dan harus dihormati?"
Murid: "Presiden, Bu!!"
Guru : "Rakyat dan Wakil Rakyat, manakah yang lebih tinggi dan harus dihormati?"
Murid: "Seharusnya sih rakyat, Bu!!"
Guru : "Kok, pakai seharusnya?"
Murid: "Karena sekarang malah terbalik Bu Guru."
Guru : "Bagus, terus tanda supaya kita kenal sama wakil rakyat kita bagaimana?"
Murid: "Yang pasti mereka suka warna abu-abu."
Guru : "Betul. Terus apalagi?"
Murid: "Suka konspirasi politik"
Guru : "Demi apa?"
Murid: "Kepentingan, Bu!!"
Guru : "Tepat sekali, sering muncul di mana mereka?"
Murid: "Di televisi, Bu!"
Guru : "Karena apa?"
Murid: "Karena skandal dan kasus, Bu!!"
Guru : "Aduh, anak murid Ibu pintar-pintar. Terus ciri wakil rakyat apalagi?"
Murid: "Pasti sering mendadak tajir, Bu!!"
Guru : "Darimana, kok bisa begitu?"
Murid: "Diam-diam kan nyolong, Bu. Kalau nggak ya dapat hibah gono-gini gak jelas."
Murid: "Dari yang pengin diuntungkan."
Guru : "Teruskan, wakil rakyat sering mengadakan sidang, berapa tahun sekali?"
Murid: "Setiap hari, Bu!!"
Guru : "Kok bisa, alasannya?"
Murid: "Kan biar dapat tunjangan dan komisi rapat."
Guru : "Biasanya yang dibahas apa?"
Murid: "Nggak ada Bu, masuk telinga kiri keluar telinga kanan."
Guru : "Jadi rakyat dengan wakil rakyat, yang mana bosnya?"
Murid: "Ya, semestinya rakyat dong, Bu!!"
Guru : "Kenapa semestinya?"
Murid: "Karena aneh, Bu!"
Guru : "Aneh kenapa?"
Murid: "Masak bos kekurangan beras di rumahnya, Bu! Sedangkan wakilnya malah asik impor beras. Nimbun juga bisa kali, Bu."
Guru : "Bagus-bagus, ternyata sebelum diajari kalian sudah banyak tahu tentang wakil rakyat ya."
Murid: "Iya dong Bu. 'Kan sudah jadi bukan rahasia lagi. Rakyat sudah banyak yang tahu, Bu."
Guru : "Sudah banyak yang tahu mengapa asyik ongkang-ongkang kaki di parlemen?"
Murid: "Kan, nggak tahu malu, Bu."
Kucing Kami Demokrat Sejati
Kisah ini terjadi pada tahun 1960, ketika Partai Komunis berkuasa di Uni Soviet.
Di suatu Sekolah Dasar di Moskow, Boris yang berusia enam tahun diminta gurunya memberikan contoh suatu anak kalimat yang menerangkan sifat.
"Kucing kami baru saja beranak lima ekor," kata Boris. "Yang semuanya komunis sejati."
Bukan main senangnya hati pak guru melihat penguasaan Boris akan tata bahasa sekaligus slogan partai. Kalau nanti pengawas pendidikan datang ke sekolah itu, maka gurunya meminta Boris yang menjawab.
Minggu berikutnya, ketika pengawas pendidikan mengunjungi kelasnya, pak guru memberi isyarat pada Boris, agar bocah itulah yang menjawab pertanyaan yang akan dilontarkannya di depan pengawas. Pak guru pun mulai mengajukan pertanyaan.
"Kucing kami baru saja beranak lima ekor," jawab Boris, "Mereka semuanya demokrat sejati..!"
Pak guru kaget dan tergagap. "Ta...tapi Boris, minggu lalu jawabanmu bu.. bukan itu."
"Bu Guru, setelah satu minggu mata anak-anak kucing itu sudah terbuka lebar..!"
Ha?????
Advertisement