Rakyat Marah: Misinformasi atau Mismanajemen Informasi?
Oleh: Erros Djarot
Para menteri terkait masalah Omnibus Law menggelar jumpa pers yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, 6 Oktober 2020. Dari penjelasan mereka, semuanya serba positif. Omnibus Law dihadirkan justru merespon keluhan publik akan bertumpuknya masalah perundangan dan aturan yang berbelit dan panjang saat mengurus izin di sektor usaha. Dampaknya sangat menghambat berbagai kegiatan usaha maupun investasi.
Tidak ada pasal yang sengaja dibuat untuk merugikan hak dan posisi kaum buruh. Buruh malah semakin terlindungi hak-haknya. Juga dengan masalah lingkungan hidup. Ruang geraknya malah berada dalam kejelasan dan terlindungi secara hukum. Begitu penjelasan beberapa menteri terkait. Semua demi kepentingan rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Tidak ada yang negatif!
Lalu, kenapa massa rakyat yang turun ke jalan begitu tinggi luapan amarahnya? Demo pun berlangsung anarkis. Kobaran api dan perusakan sejumlah fasilitas publik, terjadi di Ibu Kota dan berbagai daerah lainnya. Amukan dan luapan amarah massa dan tindakan represif petugas (polisi), sangat memiriskan hati saat menyaksikannya.
Beredar ratusan video viral yang merekam kejadian di lokasi demo. Tindakan brutal terekam dengan jelas. Para pendemo dan petugas keamanan bentrok berhadapan fisik secara langsung. Kebencian antara dua kubu; rakyat dan polisi yang turun di medan demo, begitu nyata. Kekerasan yang dilakukan kedua belah pihak sangat mengerikan dan sangat jauh untuk dikatakan sebagai tindakan berperikemanusiaan. Mengapa ini bisa terjadi?
Semua gara-gara Omnibus Law yang diketok palu secara patgulipat tengah malam, 5 Oktober 2020. Kerusuhan pun merebak. Seperti biasa, pemerintah dan jajarannya pun mengeluarkan pernyataan bahwa terjadinya kerusuhan ini karena sebaran misinformasi.
Penyebaran pemutarbalikan isi Undang-undang Cipta Kerja lewat berbagai tampilan Hoax, secara masif konon dilakukan oleh pihak tertentu. Bahkan Pak Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sempat menyampaikan ke publik beliau sudah tahu siapa yang bermain, mendanai, dan menunggangi demo buruh hingga terjadinya chaos (social unrest).
Kalau benar sudah tahu, maka pertanyaannya; mengapa tidak langsung tangkap saja! Herannya, mengapa tersebarnya misinformasi yang dijadikan penyebab masalah, dapat merebak begitu cepat, masif, dan meluas dalam waktu singkat? Bahkan ‘misinformasi ini’ dikunyah mentah-mentah oleh para pendemo yang terdiri dari beberapa komunitas masyarakat dari berbagai elemen bangsa. Padahal menurut para menteri dalam press confenrence-nya, UU Cipta Kerja sangat baik untuk kemajuan bangsa ke depan. Pembuatannya pun melibatkan berbagai unsur organisasi profesi terkait.
Sialnya, baru saja para menteri memberikan penjelasan telah terjadi pemutarbalikan fakta dari isi redaksi dalam UU Cipta Kerja, seorang tokoh buruh yang diwawancarai radio Elshinta, menyatakan hal yang sebaliknya. Begitu pun sejumlah profesor, Doktor, dekan, dan sejumlah akademisi dari berbagai universitas yang jumlahnya mencapai 500-an orang. Pemikiran dan sikap mereka tak sejalan dengan apa yang disuarakan para menteri terkait.
Dan ketika dinyatakan bahwa yang dibaca oleh para penentang bukan teks orisinil sebagaimana yang tertuang dalam hasil akhir (UU Cipta Kerja), masalahnya malah menjadi runyam. Karena draft asli yang merupakan bahan ajuan resmi yang kemudian diketok palu dalam sidang paripurna DPR tanggal 5 Oktober 2020, tak beredar luas dan karenanya tak mungkin mereka dapatkan.
Dalam kondisi seperti ini, bagaimana tahunya bahwa apa yang dijelaskan para menteri, sama sebangun pemahamannya dengan mereka yang menentang dan menolak Omnibus Law? Ditambah lagi satgas Omnibus Law terdiri dari individu pengusaha. Ada putra mahkota group Lippo di sana (James Riady). Dan satgas ini diketuai Ketua Kadin, Rosan P. Roeslani. Tidak ada personil dari akademisi yang mumpuni di bidang kebijakan publik. Hanya politisi (Puan Maharani cs) dan sejumlah Pengusaha anggota Kadin. Sangat wajar bila muncul dugaan Omnibus Law ini dikawal oleh mereka untuk kepentingan politik dan bisnis mereka. Apalagi ditutup dengan permainan patgulipat ketuk palu ala DPR .
Padahal seharusnya pemerintah belajar dari pengalaman. Kecenderungan bahwa yang dipaksakan untuk diketuk secara tergesa dan dilaksanakan pada tengah malam hari, rata-rata menyimpan banyak masalah yang mengundang pro-kontra secara tajam. Tapi di sisi lain, bisa jadi pemerintah dan DPR justru malah menganggap langkah yang mereka ambil sudah tepat.
Mungkin karena dari pengalaman empirik, sebesar apa pun penolakan dilakukan publik, toh hanya berjalan sebentar dan langsung surut dimakan waktu. Paling berlangsung satu dua hari, paling lama satu minggu, lalu mereda dan berhenti. Kehidupan pun kembali berjalan seperti biasa, bisnis as usual. Hal inilah yang mungkin mendorong DPR dan pemerintah secara gagah berani memutuskan untuk tutup kuping dan terus maju.
Sehingga ketIka para menteri secara meyakinkan mengatakan bahwa telah terjadi misinformasi, pertanyaan pun harus dipertajam menjadi; salah informasi atau salah manajemen informasi? Andai seluruh info dikelola dan dikemas dengan baik, kejadian misinformasi yang berakibat fatal ini (chaos amok massa) tak mungkin akan terjadi. Andai pemerintahan dan DPR mengelola dan mengemas info penting untuk dikonsumsikan ke publik lewat lembaga Kominfo secara bertahap dan intensif, niscaya kemarahan massal dan demo yang destruktif pun tak perlu terjadi.
Apalagi bila pemerintah dan DPR memiliki kerendahan hati dan mau membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk mendengar dan mengamati reaksi massa publik yang menolak Omnibus Law. Sayangnya, tuntutan dan penolakan oleh sejumlah organisasi profesi dan publik terhadap OMNIBUS LAW ini ditanggapi enteng-enteng saja. Bahkan dilihat oleh DPR dan pemerintah dengan hanya sebelah mata saja.
Terlihat bagaimana para Pimpinan DPR dan para petinggi negara masih cukup santai dan sangat yakin telah melakukan hal yang benar. Diperkuat kesan ini dengan Pak Presiden yang dengan santai meninggalkan kerumunan demo di Jakarta terbang meninjau lahan lumbung pangan di Kalimantan Tengah. Seperti tak terjadi apa-apa.
Sebagai catatan, misinformasi memang sangat bahaya dan menyesatkan. Tapi yang lebiih konyol lagi adalah terjadinya mismanajemen informasi (politik) dari pihak penyelenggara negara. Oleh karenanya, berhentilah menyalahkan tebaran Hoax (bila itu benar), dan perbaikilah manajemen informasi lembaga pemerintahan dan DPR. Dengan mengelola manajemen informasi secara baik dan benar, komunikasi politik antara rakyat dan penguasa penyelenggara negara pasti dapat terbangun dengan baik.
Tentunya, dalam tata laksana manajemen informasi yang baik dan benar, pola permainan politik ala patgulipat tidak diperlukan! Termasuk patgulipat politik; bersuara lantang membela rakyat, tapi dibalik itu semua memberi keuntungan seluas-luasnya kepada para pengusaha untuk berinvestasi dan mengeruk untung sebesarr-besarnya. Tanpa batas, as usual!
Sedikit menoleh sejarah ke belakang, peristiwa UU Penanaman Modal Asing di awal rezim Orde Baru berkuasa, layak dijadikan acuan dan bahan renungan, bahkan pelajaran. Pada saat kelahirannya, Pemerintah Orde Baru meyakinkan publik bahwa tujuan utamanya adalah membangun ekonomi nasional agar tumbuh pesat (itikad baik). Tapi dalam perjalanannya, dalam tiga dekade justru melahirkan kondisi kebangkrutan rakyat secara masif dan total. Hasilnya, 1% warga negara memiliki kekayaan sama dengan kekayaan 250 juta rakyat Indonesia. Dan perusahaan milik asing asing berikut para kompradornya (konglomerat) telah menguasai semua lini perekonomian nasional!
Walau pengalaman pahit ini selalu menghantui benak rakyat dan kekhawatiran akan terjadinya kembali hal ini perlu tetap kita pelihara, tapi tetap saja kepada para pendemo dan massa rakyat, janganlah terpancing dan terjebak dalam anarkisme. Kepada para petugas keamanan (polisi) hentikan segala bentuk kekerasan, represivme tanpa perikemanusiaan. Begitu juga kepada para petinggi DPR dan pemerintahan, hentikan patgulipat politik kekuasaan! Dan kepada rakyat Indonesia, tetaplah berada di garis akal sehat dan waras!
Yang benar tegakkan, yang zalim tumbangkan! Yang menyebar fitnah penjarakan! Yang membohongi rakyat, turunkan!
*Tulisan ini dikutip sutuhnya dan Watyutink.com