Rajin Sedekah, Amalan Makna Wasathiyah Prof. Quraish Shihab
Betapa melelahkan dan membosankannya berislam dengan karakter saling menegasi antarmazhab dan paham. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin mustahil mengajari kita semua untuk terus gontok-gontokan, bukan?
Ada tawaran yang jauh lebih optimistik kini dalam khazanah kajian keislaman kita pada konteks kontestasi lawas kanan-kiri tersebut. Yakni ide wasathiyah, moderasi, keseimbangan.
Wasathiyah bukan lagi berhasrat pada menarik dan memasukkan ujung kanan ke dalam ujung kiri, maupun sebaliknya.
Apa yang disebut radikalisme tak lagi perlu dipandang sebagai “keluputan”, sebagaimana kekirian tak lagi perlu divonis sebagai “kesesatan”. Kedua ujung itu hendaknya dibiarkan berada di titik pijak masing-masing, hanya saja dalam bentuk korelasi-dialektis yang berkeseimbangan. Segala teriakan buruk mesti dihentikan.
Tentu, ini bukan pekerjaan sederhana. Sebab ini terkait dengan mindset, konteks, latar, bahkan ideologi orang. Ini adalah sebuah wawasan kritis kini, wacana, epistemologi, yang tentulah secara metodis memerlukan langkah-langkah praktis, struktural dan kultural, yang lebih detail dan berkesinambungan, tentu pula humanistik.
Wasathiyah bukan pula memaksudkan untuk menggabungkan kedua ujung itu, bersikap tengah-tengahan menca-mencle, atau memoderasi kanan-kiri bagaikan angka tengah yang pasti, yakni 5 sebagai titik tengah antara 1-10. Tidak begitu.
Wasathiyah adalah keseimbangan jalan hidup dalam pelbagai aspeknya, pula dalam berislam. Bahwa di satu sisi seorang muslim mestilah kokoh tauhidnya, itu niscaya.
Tetapi di detik yang sama, ekspresi keislaman seyogianya juga aware kepada khittah kemajemukan manusia dalam ragam konteks dan karakter serta kompetensinya, itu pun niscaya. Ada Tuhan, ada manusia.
"Ada Maha Mutlak, ada maha nisbi. Ada khusyuk menekuk kepala, ada tawa ceria. Ada kepastian, ada kerelatifan. Ada nafsi-nafsi, ada kebersamaan. Dan seterusnya," tutur Edi Mulyono atau Edi AH Iyubenu, seorang penerbit di Jogjakarta, yang juga aktivis gerakan Islam.
Dalam pandangannya, Prof. Quraish Shihab memberikan contoh ilsutrasi keren tentang paraktik wasathiyah ini, yakni sedekah.
Untuk bisa bersedekah, Anda mesti mengeluarkan uang. Sikap ini adalah pemborosan. Itu satu ujung. Tapi jika Anda menyangkal penuh pemborosan sedekah ini, hasilnya Anda akan jatuh pada kekikiran. Ini ujung lainnya.
Sedekah lalu mengantarai keduanya dalam proporsi yang seimbang. Unsur keborosan untuk mengatasi kekikiran dan unsur kekikiran diatasi oleh keborosan. Titik seimbang kedua ujungnya inilah sedekah.
Maka diajarkan bahwa sedekah itu seyogianya dijalankan dengan seimbang, proporsional. Karenanya sedekah tak bisa distandarisasikan, digebyah-uyah. Boleh jadi seseorang bersedekah 100 juta sebagai titik seimbangnya antara kekikiran dan keborosan tadi, pun boleh jadi orang lain bersedekah 50 ribu sebagai titik seimbangnya.
Pada kasus radikalisme yang terekspresikan dalam wujud negasi kepada liyan, seyogianya ia didudukkan dalam korelasi-dialektis wasathiyah sejenis sedekah tadi. Bukan dinegasi –istilah populernya dideradikalisasi.
Korelasi-dilekatis, dalam konsep Hegel, memuat dua aspek, yakni “destruksi” dan “rasional”. Orang untuk berdialektika dari ujung ke ujung mesti berkenan “mendestruksi” dirinya, dan praktiknya niscaya ditakar secara rasional, sesuai dengan batas-batas ideologis yang diyakininya selama ini.
Adanya gerak destruksi-rasional itulah yang akan membuka ruang kemungkinan bagi wasathiyah; tentu mesti bersambut-gayut dengan gerak destruksi-rasional dari ujung lainnya juga. Bagaikan orang berjabat tangan, kedua pihak mesti saling menjulurkan tangan kanannya masing-masing hingga bertemu di satu titik. Inilah titik keseimbangan itu.
Demikian dipetik dari catatan Edi Mulyono di akun facebooknya.
Advertisement