Raja Susu Bisa Sukses Karena Musik Klenengan dan Uyon-Uyon
Siang itu pukul 13.30. Musik klenengan langgam Jawa mengudara mendayu. Mampu meninabobok siapa saja yang mendengarya. Hawa di lereng Gunung Wilis memang lagi panas, namun menjadi sejuk rasanya begitu diputarkan musik uyon-uyon seperti itu. Segmen ini adalah favorit pendengar Tirta FM kala siang. Biasanya dinikmati sambil leyeh-leyeh sepulang dari sawah atau setelah berjibaku keringat di kandang sapi perah.
________________________
Bambang Jasmanto duduk sendirian di ruang siaran Radio Tirta FM. Ruang on air itu berdampingan dengan ruang ketua pengurus Koptan Jasa Tirta. Juga bersebelahan dengan ruang rapat di kantor utama. Pemandangan ini tentu sangat kontras dengan Koptan di tahun 1999 silam. Betapa, saat itu, membeli meja dan kursi saja tidak mampu.
Kini kantor utama ini sudah memiliki banyak meja dan kursi. Malah sekarang ada ruang on air radio yang di dalamnya terdapat piranti cukup canggih untuk membangun komunikasi dengan ribuan anggota Koptan yang tersebar di seantero lereng-lereng Gunung Wilis.
Bambang menghadapi mikrofon yang seperti gundukan es krim dalam conthong dengan tenang. Terlihat jelas pekerjaan menghibur dan membangun komunikasi dengan para peternak sapi perah anggota Koptan, juga masyarakat umum di lereng Wilis ini sudah ditekuninya lama. Bambang seperti tahu belaka meski dirinya siang itu sedang sendirian di ruangan kecil, sejatinya ia sedang berhadapan dengan ratusan pasang telinga yang menantikan suaranya bercuap.
Suara bercuap itu menyapa, menyebut nama orang, kadang menyentil beberapa kejadian penting di lereng Gunung Wilis, kadang juga membawa materi berat yang harus disosialisasikan kepada para peternak sapi perah. Lalu, berikutnya lagu mendayu mengiringnya agar pendengar tidak bosan dengan informasi-informasi yang dibawanya.
Dari cuapannya, Bambang dan juga penyiar lain seperti dia yang sedang bertugas, kadang memeroleh sesuatu yang tak terduga. Tahu-tahu di ruang on air radio mendapat kiriman pisang goreng, singkong rebus, buah-buahan masak pohon, kadang juga menu di dapur yang masih hangat berikut nasi yang masih mengepul panas.
Tentu fenomena ini tak bakal terjadi di radio-radio FM yang lain. Perasaan terhibur dan terlibat dalam emosional pendengar membuat hal-hal humanis seperti ini memungkinkan terjadi.
Menurut Bambang, pemberian seperti ini tak bisa ditolak atau dikembalikan. Meskipun kita tidak mengharapkan pemberian seperti ini. Menolak atau mengembalikan justru akan membuat semuanya jadi runyam.
“Yang seperti ini adalah bentuk ikatan emosional dengan kita. Mereka memesan lagu uyon-uyon kemudian kita putarkan sembari menyentil kanan kiri aktivitasnya hari ini, dan kemudian terhibur, lalu berupaya membalasnya dengan yang mereka punya di rumah bagi masyarakat di desa seperti disini adalah hal biasa. Tidak boleh ditolak, malahan kalau perlu mencicipinya sebelum yang memberi pergi. Agar dia mengetahui pemberiannya dinikmati dengan asyik,” ujar Bambang.
Dengan model pendengar seperti ini, kata Bambang, Koptan secara organisasi akan dengan mudah memasukkan informasi-informasi program. Berbagai sosialiasi yang perlu dan harus disosialisasikan. Penyuluhan-penyuluhan. Juga pendidikan-pendidikan ringan yang bisa ditransfer cukup untuk didengar.
Jika sifatnya materi berat, baru kemudian anggota diundang dan dikumpulkan untuk melakukan tatap muka. Mengundang mereka juga tidak perlu didatangi satu persatu, cukup diudarakan maka sistem gethok tular akan berlaku dengan sendirinya. “Ini juga penghematan yang efektif,” kata Bambang.
Diakui, unit Radio Tirta FM di Koptan Jasa Tirta tidak menghasilkan Sisa Hasil Usaha (SHU) besar. Malahan kadang perlu mendapatkan suntikan dana dari unit usaha lain. Namun unit ini tetap dipertahankan mengingat begitu besarnya jangkauan komunikasi yang diharapkan. Apalagi untuk masyarakat gunung yang rumahnya banyak yang sulit dijangkau transportasi.
“Sinambi leyeh-leyeh monggo langgam lawas menika saget dados tambo kesel nggih para sedulur... lalu mengalun suara si Walang Kekek Waljinah “Yen ing tawang ono lintang cah ayu, aku ngenteni sliramu...”
Ini memang zaman now. Zaman gagget sangat merajalela. Era youtube. Era youtuber. Pun di desa seperti di Sendang yang persis di kaki Gunung Wilis itu. Warga juga kejangkitan. Utamanya para anak mudanya. Lalu siapa yang mendengarkan radio ndeso itu? Masih efektifkan untuk menjangkau informasi-informasi yang dibutuhkan para anggota dari kelompok Raja Susu ini?
Inilah tantangan beratnya. Sejauh ini para anggota koperasi rata-rata berusia sampun sepuh. Sudah berusia tua. Sebagian besar dari mereka tidak mengenal android, tidak menggunakan medsos, youtube, dan seterusnya. Tahunya hanya telpon berbunyi lalu diangkat, “Halo”. Atau sedikit SMS. Maka radio Jasa Tirta FM ini tetap menjadi kebutuhan.
Bagaimana kelak? Maka pekerjaan berat bagi pengurus Koptan ini adalah menjangkau anak-anak muda agar ikut juga berkoperasi susu seperti pendahulunya. Tentunya dengan inovasi-inovasi zaman now yang begitu cepat bergeser dengan cepat. Lalu, Waljinah masih mengalun dengan syahdunya. menemani siang yang mulai bergeser Ashar. Lalu, waktunya memandikan sapi sebelum diperah lagi menjelang sore itu. (idi/habis)