Raja Salman dan Halal Tourisme
Momen besar kedatangan akbar Raja Salman dari Arab Saudi 2 minggu ini adalah berkah bagi promosi pariwisata Indonesia, apalagi Sang Raja memperpanjang waktu berliburnya di Bali selama tiga hari. Ini adalah kabar gembira yang menunjukkan bahwa Raja Salman kepincut dan puas dengan daya tarik pariwisata kita.
Seperti yang sudah saya tulis dalam CEO Message yang lalu, Raja Salman adalah endorser terhebat bagi pariwisata kita tahun ini khususnya untuk pasar Timur Tengah. Momen ini selain kita manfaatkan untuk mempromosikan pariwisata kita juga merupakan waktu yang tepat untuk memperkenalkan Indonesia sebagai destinasi halal kelas dunia.
Gegap gempita kedatangan Raja Salman ini menjadi momentum yang tepat untuk mempromosikan salah satu portfolio pariwisata kita yaitu halal tourism. Masih segar dalam ingatan, akhir tahun kemarin kita memborong 12 dari 16 penghargaan bergengsi pada gelaran World Halal Tourism Award (WHTA) 2016 di Abu Dhabi. Kemenangan dalam penghargaan WHTA ini penting. Inilah salah satu bentuk penerapan rumus 3C, yakni calibration, confidence, dan credibility.
Kita harus mengkalibrasi atau mengukur apakah yang kita lakukan (untuk kemajuan pariwisata Indonesia) sudah pada jalur yang benar sesuai dengan standar dunia. Selanjutnya kemenangan ini akan meningkatkan self confidence, rasa percaya diri bangsa ini akan semakin kuat. Tentunya kemenangan ini bisa meningkatkan kredibilitas bangsa Indonesia di mata dunia.
Big Growth, Big Opportunity
Dalam hal prosentase kontribusi industri pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kita masih kalah dibandingkan negara-negara tetangga. Kontribusi PDB pariwisata kita sekitar USD 83,2 Milyar (9,6%), bandingkan dengan Singapura USD 28,4 Milyar (10,0%), Malaysia yang sebesar USD 37,6 Milyar (13,1%), dan Thailand USD 78,8 Milyar (20,8%).
Sedangkan untuk halal tourism dapat digambarkan dengan data-data sebagai berikut : populasi muslim global mencapai 1,6 miliar penduduk dengan GDP lebih dari USD 7 triliun. Konsumsi penduduk muslim mencapai USD 1,8 triliun atau 11,7% konsumsi penduduk dunia, lebih tinggi dari China yang mencapai USD 1,6 triliun (10,3%). Pertumbuhan pasar muslim ini diperkirakan akan mencapai USD 2,6 triliun pada 2020 atau rata-rata 6,3% per tahun, sedangkan pertumbuhan turis muslim diprediksi lebih tinggi lagi yaitu 9,1% per tahun. Betapa menggiurkan pasar ini untuk pariwisata kita. Untuk Indonesia, konsumsi penduduk muslim Indonesia hanya sekitar USD 225,7 Milyar atau 12,5% dari konsumsi muslim global.
Kalau kita lihat peringkat di Crescent-Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) sebagai acuan global untuk daya saing halal tourism, lagi-lagi ketinggalan dari Malaysia yang menduduki peringkat puncak atau nomor 1, kita baru bisa mencapai peringkat 4 (tahun 2015), itupun sudah naik 2 peringkat dari tahun sebelumnya. Jumlah wisman muslim yang ke Indonesia pada tahun 2015 hanya sekitar 2,2 juta. Masih kalah dengan Singapura (3,6 juta), Thailand (4,8 juta), maupun Malaysia (6,18 juta).
Halal tourism adalah portfolio penting bagi pariwisata nasional untuk mencapai target 20 juta wisman dengan menjaring wisatawan muslim global, target kita pada 2019 nanti adalah 5 juta wisman muslim dan 242 juta perjalanan wisnus muslim, serta menduduki peringkat 1 GMTI. Apalagi negara kita adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, by default bisa dikatakan pariwisata kita adalah pariwisata halal. Kita membentuk Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal yang diketuai Pak Riyanto Sofyan, yang sudah malang-melintang bertahun-tahun di industri halal terutama bidang hospitality.
Peluang dan Tantangan
Dalam merumuskan strategi untuk mengembangkan halal tourism saya melihat ada 3 peluang dan 3 tantangan utama yang kita hadapi. Peluang pertama adalah daya tarik pariwisata kita yang beragam dan sudah berkembang. Kita punya tiga portofolio produk atau destinasi yang bisa dikembangkan untuk halal tourism yang terdiri dari wisata budaya (culture), wisata alam (nature) dan wisata buatan (man-made).
Kedua, muslim-friendly amenities (hotel, kafe, restoran, dll) kita juga sudah siap. Seperti yang saya katakan di depan, by default negara kita sudah pasti muslim-friendly. Kalau di Jepang atau Thailand, agar bisa muslim-friendly mereka harus secara khusus membangun masjid atau mushola. Di Indonesia, masjid dan mushola sudah tersedia di mana-mana hingga ke kampung-kampung, kita tak perlu membangun lagi.
Ketiga, adalah peluang kerjasama dengan lembaga atau organisasi multinasional untuk mengembangkan infrastruktur pariwisata halal. Terkait dengan hal ini, saya menyakini kedatangan Raja Salman akan semakin menarik minat investor dari Arab Saudi dan Timur Tengah untuk berinvestasi di bidang infrastruktur pariwisata di Indonesia.
Sedangkan tantangan yang harus kita hadapi adalah sebagai berikut. Pertama, masih lemahnya branding dan promosi kita sebagai muslim-friendly destination. Kita belum fokus dan massif mempromosikan Wonderful Indonesia menjadi rujukan halal tourism di tingkat global.
Tantangan kedua adalah masih kurangnya sertifikasi untuk muslim-friendly amenities. Hal ini bisa dimaklumi karena mayoritas masyarakat kita adalah muslim sehingga kita merasa tak perlu mengurus sertifikasi, karena by default sudah harus halal. Padahal sertifikasi ini amat penting bagi wisman muslim sebagai panduan bagi mereka mengenai kehalalan produk yang mereka konsumsi.
Tantangan ketiga adalah adalah aksesibilitas dari dan ke kota-kota besar mancanegara yang harus ditingkatkan. Dalam hal ini, sekali lagi, momentum kedatangan Raja Salman akan kita manfaatkan sebaik mungkin untuk membuka akses penerbangan dari kota-kota besar di negara-negara Timur Tengah.
Strategi Percepatan
Untuk mengembangkan halal tourism di Tanah Air, kita menetapkan 10 destinasi utama wisata halal yang terdiri dari Aceh, Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Lombok/NTB, dan Sulawesi Selatan. Namun, untuk saat ini kita masih fokus di 5 destinasi yaitu Aceh, Sumatera Barat, Lombok, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.
Dengan melihat peluang dan tantangan tersebut, saya merumuskan tiga strategi utama untuk mempercepat pengembangan halal tourism. Apa saja itu?
Pertama, Global Leadership. Seharusnya untuk halal tourism, Indonesia lah yang menjadi leader-nya. Untuk itu di setiap pertemuan maupun lomba-lomba kita harus menjadi champion.
Kita sudah menyabet 12 dari 16 kategori penghargaan di WHTA 2016 dan International Travel Week 2016 di Abu Dhabi. Tahun kemarin kita juga telah menyelenggarakan kompetisi pariwisata halal dengan 14 kategori yang dilombakan dan diperuntukkan tidak hanya bagi destinasi tapi juga termasuk hotel, bandara hingga biro perjalanan.
Kita juga harus terus meningkatkan peringkat kita dalam Global Muslim Travel Index (GMTI) sebagai standar global dalam menilai daya saing halal tourism. Di 2014 posisi kita di peringkat 6, tahun 2015 peringkat 4, saya harapkan menjadi peringkat 1 pada 2019 nanti.
Ada beberapa kriteria yang harus menjadi perhatian kita untuk meningkatkan daya saing. Kita kuat (top 3) dalam hal: lingkungan yang aman untuk berwisata, akses yang mudah untuk beribadah, dan bebas visa kunjungan. Ini yang harus terus kita tingkatkan. Sedangkan kelemahan yang harus kita benahi (bottom 3) adalah: jumlah kedatangan wisman muslim dimana kita masih kalah dari Malaysia dan Thailand, kemudahan berkomunikasi, dan konektivitas transportasi udara.
Selain itu, untuk memperkuat posisi kita sebagai pemimpin global untuk halal tourism beberapa langkah berikut ini kita lakukan. Pertama, melaksanakan tugas Indonesia sebagai koordinator Pengembangan Pariwisata Halal di negara-negara OKI (ICTM). Kedua, pembahasan dan lobby sesama stakeholder industri pariwisata halal. Ketiga, terlibat pada event-event halal tourism dan event-event mainstream tourism, serta penyelenggaraan acara International Halal Tourism Summit.
Kedua, Strategi pemasaran dengan mengunakan model Destination, Origination dan Time (DOT) yang sudah kita rumuskan. Destinasi (Destination) mana yang mau kita tawarkan, originasi/pasar (Origination) mana yang akan kita bidik, dan kapan mereka akan melakukan apa (Time), harus kita rumuskan secara detail. Untuk strategi promosi kita menggunakan model Branding, Advertising dan Selling (BAS). Sementara untuk strategi media kita menggunakan model Paid, Owned, Social media dan Endorser (POSE). Beruntung kedatangan Raja Salman bisa segera kita manfaatkan sebagai endorser untuk pariwisata kita, terutama halal tourism.
Untuk menjalankan semua strategi ini kita membuat materi promosi wisata halal yang ditayangkan di website utama kita Indonesia.travel/halaltourism dan semua media partner kita untuk branding. Selanjutnya adalah mengintegrasikan program kampanye pariwisata halal baik di dalam maupun luar negeri melalui PR-ing, influencer, hingga digital marketing. Sedangkan untuk kepentingan selling, kita berpartisipasi dalam event-event halal tourism dan event-event mainstream tourism, sales mission, dan fam trip.
Ketiga, Pengembangan Destinasi dan Kelembagaan. Kita mengembangkan dan menguatkan daya saing atraksi dan produk untuk semakin menancapkan negara kita sebagai destinasi utama halal tourism di dunia. Program-program yang dilakukan antara lain pengembangan destinasi dan industri halal tourism dan peningkatan kapasitas pelaku industri. Selanjutnya kita menguatkan ekosistem pariwisata halal dengan memberi masukan perbaikan dan pengembangan kepada seluruh stakeholder pariwisata, menyiapkan kurikulum pelatihan bagi SDM pariwisata halal, dan tentunya kita edukasi masyarakat untuk semakin peduli dengan halal tourism.
Lalu, bagaimana implementasi di lapangan?
Quick Win
Dalam setiap implementasi, bagi saya quick win merupakan faktor kunci. Karena itu dalam pengembangan pariwisata halal ini pun kita menetapkan quick win yang diterapkan di 5 destinasi utama yaitu Lombok, Sumbar, Aceh, Jawa Barat dan Jakarta. Quick win yang dilakukan mencakup 3 aspek yaitu: program pemasaran, pengembangan destinasi, maupun pengembangan SDM dan industri.
Untuk program pemasaran saya beri contoh quick win yang dilakukan di Lombok. Di destinasi halal utama ini branding-nya adalah Friendly Tourism dengan mempromosikan Lombok sebagai “World Best Halal Tourism Destination”. Untuk advertising kita promosikan event-event yang terkait seperti Wonderful Muharram Festival, Pesona Tambora, dan Bulan Budaya Lombok Sumbawa. Sementara kegiatan selling dilakukan dengan mengikuti World Halal Travel Mart, sales mission, dan fam trip.
Untuk pengembangan destinasi mencakup 3 aspek yang sebut 3A yaitu: atraksi, aksesibiltas dan amenitas. Atraksi yang kita garap antara lain: muslim-friendly beach, Kota Tua Ampenan, dan lighting system masjid Islamic center.
Untuk mendukung aksesibilitas terakhir kita membuka direct flight dari pasar utama (Singapura dan Malaysia) ke Lombok International Airport. Kita juga membuat muslim-friendly signage dan tourism information center (TIC) yang muslim-friendly di bandara.
Sedangkan untuk amenitas kita mengembangkan hotel beragam segmen: model high-end (Oberoi Hotel), model middle (Svarga Resort Villa), dan model low-end (Kuta Homestay). Untuk pengembangan SDM dan industri kita membuat sertifikasi untuk tour guide dan tour planner berbahasa Arab 100 orang. Kita juga lakukan sertifikasi untuk usaha hotel.
Di akhir CEO Message ini saya ingin menegaskan, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia sudah seharusnya kita menjadi world’s leader dalam hal halal tourism. Kita jadikan kunjungan Raja Arab Saudi dua minggu ini sebagai momentum kebangkitan pariwisata halal kita.
Salam Pesona Indonesia!
*) Dr Ir Arief Yahya MSc, Menteri Pariwisata