Raih Penghargaan, Zawawi Imron Kritik 'Telur' Intelektual
TELUR
Dubur ayam yang mengeluarkan telur
lebih mulia dari mulut intelektual
yang hanya menjanjikan telur.
Demikian larik puisi yang disampaikan D. Zawawi Imron, disambut riuh tepuk tangan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia, di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Minggu 9 Desember 2018.
Penyair dari desa Batang-batang Sumenep Madura ini, menjadi salah satu dari empat budayawan dan sastrawan penerima penghargaan di Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, seperti Putu wijaya.
Presiden Joko Widodo langsung menyerahkan penghargaan itu kepada pria yang lahir di Kabupaten Sumenep, 1 Januari 1945 itu dengan karyanya 'Bulan Tertusuk Lalang'.
"Jika Indonesia disebut sebagai tanah surga, bisa disimpulkan bahwa tanah air yang subur ini juga harus diurus oleh orang berbudi pekerti indah. Tanah Air yang subur harus diurus oleh hati yang indah dan budi pekerti yang Indah," tuturnya
Kritik Zawawi Imron, cukup mengundang perhatian di antara para intelektual peserta Kongres tersebut. Sajak Zawawi Imron sampai pada sasarannya.
Sajak berjudul "Telur" itu, singkat, padat makna meskipun tak langsung menyindir politisi yang suka berjanji.
Si Celurit Emas itu menegaskan, Indonesia bak serpihan potongan surga yang diturunkan Tuhan ke bumi. Ia mengaku ingatan yang masih melekat di kepalanya, ketika rektor Universitas Al-Azhar, Mahmud Syaltout datang ke Indonesia tahun 1970an.
"Di Mesir 70 persen tanahnya terdiri dari tanah gersang, begitu beliau datang ke Indonesia dan terkesima melihat Indonesia. Gunung biru berselendang awan, padi menguning, di pantai buih ombak seperti kapas dengan sambutan nyiur-nyiur melambai di pantai. Indonesia adalah serpihan potongan surga yang diturunkan ke bumi," ujarnya.
Untuk itu, Zawawi menekankan, jika Indonesia disebut sebagai tanah surga, bisa disimpulkan bahwa tanah air yang subur ini juga harus diurus oleh orang berbudi pekerti indah.
"Tanah Air yang subur harus diurus oleh hati yang indah dan budi pekerti yang Indah," tuturnya.
Isu Penting
Masalah intoleransi dan konservatisme menjadi isu sentral dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 yang digelar di Jakarta, 5-9 Desember 2018. Presiden RI, Joko Widodo dalam amanat pembukaan kongres juga menegaskan bahwa saat ini kita terlalu mengedepankan ruang ekspresi, tapi tidak diikuti toleransi.
“Kontestasi tanpa diikuti dan diimbangi tolerasi, akan memproduk banyak ujaran kebencian dan sikap intolerans. Harus didorong panggung toleransi dalam berinteraksi, dan kebudayaan memainkan peran penting, “ujar Jokowi.
Selaras dengan imbauan Presiden, Mendikbud Muhajir Effendi menyatakan pentingnya menghadirkan kembali nilai nilai luhung budaya Indonesia yang tepa selira, toleran, saling menghargai dan penuh kesantunan.
“Semakin ke sini, kita (bangsa Indonesia) makin tercerabut dari budayanya. Ini bahaya dan tidak boleh dibiarkan," ujar mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI menambahkan, kebudayaan yang inklusif menjadi kunci menghadapinya.
“Sifatnya saling belajar, saling mengenal, saling tahu sudut pandang orang yang berbeda, berusaha memahami, empati, sehingga kemudian toleransi akan muncul dari pemahaman, bukan karena doktrin,” tuturnya.
Hilmar Farid mengaku memahami jalan pikiran pihak-pihak yang yang menganut konservatisme. Menurutnya, keterbatasan pengalaman dan lingkungan di mana mereka bergaul menjadi sejumlah faktor yang mempengaruhi cara pandang mereka terhadap hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai mereka.
“Yang kita perlu lakukan sebelumnya di pemerintahan itu (adalah) memperkuat daya cerna kebudayaan orang, sehingga dia bisa menerima apapun yang dia lihat tanpa buru-buru kemudian mengambil sikap menolak,” ujarnya.
Semangat kongres kebudayaan 2018 ini berbeda dengan kongres-kongres sebelumnya yang didominasi diskusi budaya dan presentasi makalah. Tahun ini, kongres juga menampilkan beragam jenis budaya nusantara, dan akan menelurkan produk konkrit berupa Strategi Kebudayaan.
Dokumen ini merupakan rangkuman aspirasi dan harapan pelaku kebudayaan dari lebih dari 300 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Terdapat tujuh isu strategis dalam Strategi Kebudayaan tersebut, salah satunya yaitu praktik pemikiran kebudayaan yang menghadapi tantangan, baik akibat globalisasi, maupun pembenturan kebudayaan dengan agama.
Nantinya, Strategi Kebudayaan ini akan disusun menjadi Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK), yang akan menjadi acuan pemerintah dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di masa yang akan datang. (adi)