RAHMAN TOLLENG adalah aktifis abadi. Elan moralnya tampak pada akhirnya selalu mengatasi politiknya. Seperti banyak generasi elit aktifis politik 1960an, ia menaruh harapan besar pada munculnya sebuah orde politik yang mengklaim sebagai "baru", pengganti sebuah orde yang distempel sebagai "lama" -- dengan segala sifat dan ciri tertentu yang dirumuskan oleh si baru sebagai buruk. Tolleng bahkan sampai memimpin corong resmi partai yang tak pernah sudi disebut partai politik, demi ikut menggelorakan spirit modernisasi politik dan sosial yang dijanjikan bertalu-talu, untuk mengganti segala yang buruk dalam orde yang lama itu. Tapi dalam waktu singkat, Tolleng the activist tak sanggup bungkam dan menoleransi banyak hal yang dianggapnya cuma repetisi dari tabiat politik lama; dan yang baru di sana hanya aktor-aktor dan nomenklaturnya. Nalurinya tak pernah mampu mengubahnya menjadi Tolleng the politician. Pada 1974, sebagai pemimpin redaksi "Suara Karya", ia ikut menarik gerbong generasi demonstran di bawahnya, melawan sistem yang menjadi induk suratkabar yang dipimpinnya. Tolleng ikut diringkus bersama sejumlah kawan lama yang dulu bersama-sama mengibarkan bendera orde yang baru. Sejak itu, sampai tarikan nafas terakhirnya, Rahman Tolleng terbebas dari ambiguitas. Saksikanlah bahwa ia, dari kepala hingga kaki, adalah aktifis politik yang gelisah, yang tak betah dengan segala macam rekayasa sosial-budaya yang baginya tak lain daripada tipu daya untuk menipu bangsanya. Tolleng kembali menggenggam cangklongnya. Dengan mata kecil dan dahi yang kian melebar, ia memilih duduk di suatu sudut dan mengawasi lalu lalang politik. Barangkali staminanya sebagai mastermind dan king maker terus mengendur. Terlalu banyak aktor baru yang meneriakkan ide-ide yang lebih kompleks, mungkin juga jauh lebih ganjil, dibanding lanskap yang dikenalnya dulu. Old activists never die. They just fade away. Tolleng kini pudar dan pergi jauh -- sangat jauh hingga tak mungkin kembali. Apapun yang ditemuinya di perjalanan terjauh yang pernah dilakukannya, kita berharap ia banyak tersenyum. Seperti yang sering dilihat teman-temannya hingga hari-hari terakhir, ketika ia berkemas untuk berangkat. *) Hamid Basyaib adalah penulis, pemikir, dan pencatat ulung. Orde Lama Orde Baru