Rahayu Supanggah, Dari Desa ke Berbagai Penjuru Dunia
Pengantar:
Dunia kesenian Indonesia berduka. Rahayu Supanggah, Maestro Karawitan atau Mpu Karawitan, meninggal dunia pada usia 71 tahun pada Selasa 10 November 2020, dini hari. Mantan Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Solo periode 1997-2001 ini telah memberi sumbangan dalam kesenian Indonesia, di ajang dunia. Rahayu Supanggah sosok yang tergolong sangat produktif. Banyak membuat karya seperti gending karawitan kategori kontemporer dan tradisi, termasuk musik tari, musik teater dan musik film. Halim HD, seorang networker kebudayaan di Solo menulis kenangan terhadap almarhum. -- Redaksi
Dari desa ke berbagai penjuru dunia. Mungkin, atau malah pasti, itulah yang terjadi. Ungkapan di atas dari obrolan ringan di antara sajian HIK (Sajian Istimewa Kampung, Red) di depan Monumen Pers, Solo, pada awal tahun 1980an. Waktu itu saya sedang ikut membantu beberapa mahasiswa senirupa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, yang mau pameran di ruang samping Monumen Pers. Ketika sedang displai, seseorang yang saya kenal tapi sudah lama tak berjumpa karena tugas studinya di Prancis, program doktor.
Dia itu, Rahayu Supanggah, komponis handal yang saya kenal sejak tengah tahun 1970an. Kami salaman, dan Mas Panggah -- panggilan akrabnya -- mengenalkan rekannya, seorang bule. Ketika bule itu menyebutkan namanya, Peter Brook, spontan saya bertanya, "Anda yang sedang menggarap lakon Mahabhrata itu?. Peter tersenyum mengiyakan. Mas Panggah mengajak kongko di HIK depan Monumen Pers, HIK Mbah Kemin yang legendaris itu. Beberapa teman ikut serta. Kami kongko.
Menarik apa yang diungkapkan mas Panggah dalam obrolan itu, bahwa karawitan dan gamelan bisa berkolaborasi dengan elemen kebudayaan dari mana saja. Karawitan dan gamelan sangat terbuka. Dalam lintasan waktu, kita bisa lihat karawitan berinteraksi n mewujud dalam paduan dengan Sunda, Cina, Eropa.
Pernyataan itu bukan ungkapan akademis yang njlimet. Sang komponis yang belakangan meraih doktor dan gurubesar Institut Seni Surakarta (ISI) Solo dan dianggap Mpu oleh kalangan karawitan membuktikan hal itu dalam proses karyanya. Rahayu Supanggah, hanya untuk menyebut beberapa figur, pernah terlibat langsung sebagai komponis dengan sosok-sosok klas dunia, seperti Peter Brook, Sardono W. Kusumo, Ong Keng Seng, Robert Wilson, dan Quartet String Kronos.
Di antara penjelajahan suara dan bunyi yang berangkat dari gamelan ke berbagai penjuru dunia di panggung seni pertunjukan, Mpu Karawitan ini bisa dengan enteng menyatakan, "Aku iki wong desa, mas,". Ketika mengungkapkan hal itu, denan senyum santai. Gamelan itu asalnya dari desa, tandasnya.
Melalui kesadaran kepada sejarah dan ruang penciptaan desa itulah, Sang Mpu menjelajah jagat global tanpa merasa dirinya harus sungkem. Kerendahan hatinya dia buktikan bukan dengan merundukan tubuhnya. Tapi melalui praktik menerima elemen bunyi dan suara dari mana saja dalam wujud komposisi. Pada karyanya untuk garapan I La Galigo yang disutradarai oleh Robert Wilson, beragam suara dan bunyi dari tradisi Bugis dan Makassar membentuk suasana archaic. Kolaborasinya dengan Quartet String Kronos terasa bersahaja tapi menggetarkan.
Rahayu Supanggah yang selalu mengidentikan dirinya dengan "Cah Desa" ini mengawali karier sebagai pangrawit termuda, berusia belasan tahun, mengikuti rombongan karawitan keliling dunia, program kebudayaan Sukarno.
Ada suatu cerita yang menarik dari beberapa sosok mantan gurunya ketika mas Panggah duduk di Konri Karawitan di Solo. Ketika murid karawitan ini diminta tampil selalu berbeda dalam teknik sajiannya. Padahal ketika diberikan arahan oleh gurunya dia selalu menurut dengan taqlid. Usut punya usut oleh gurunya, ternyata sang murid ini memang sudah piawai dan lahir dari keluaga tradisi. Ibunya salah seorang pangrawit handal dan penabuh gender di Kraton Surakarta.
Zaman jugalah, di samping dari keluarga tradisi yang memegang disiplin, yang membuat sang murid ini menonjol. Berguru kepada beberapa Mpu di Solo, Ki Marto Pangrawit, Eyang Mloyo Kusumo dann beberapa Mpu lainnya, menjadikan sang murid ini begitu kaya dengan pemahaman dan praktik tradisi. Proses itulah yang menjadikannya dia seorang komponis yang mumpuni, dan dengan integritas serta komitmen serta sikap terbuka bahwa tatanan tradisi bukan sesuatu yang jumud.
Gamelan itu beragam, mas. Keunikannya terletak pada kebutuhan pencipta dan masyarakat sekitarnya. Tak ada gamelan yang seragam. Dari ungkapan itu yang saya dengar pada tahun 1970an ketika mas Panggah dan Ki Marto Pangrawit menggarap komposisi untuk iringan Wayang Budda dari idea Suprapto Suryodarmo, saya belajar menggugat antropologi dan sosiologi kolonial yang selama itu menuding bahwa tradisi itu jumud, seragam dan sulit berubah.
Dari khasanah dan kesadaran kepada ruang bunyi dan suara desa itu yang mewujud dalam berbagai komposisi, sang Mpu Karawitan ini memasuki dan menjelajah berbagai belahan penjuru dunia. Rest In Peace.
Halim HD
Networker Kebudayaan, tinggal di Solo.