Rahasia Ngopi dari Pak ”Misel Fuko”
Masih dalam waktu dan gelombang yang sama. Satu lagi cerita kopi tradisi “punya kita” yang begitu Indonesia banget, terkait kopi walik. Sebuah gaya ngopi sensasional yang di dalamnya menyimpan alam modernitas.
Banyak orang – terutama kalangan mahasiswa S1-S3 – gandrung dengan buku Pak Michel Foucault. Orang lidah Jawa barangkali cocok mengeja namanya sebagai Misel Fuko. Buku ini bercerita tentang pengetahuan adalah kekuasaan.
Dalam buku itu Pak Misel sama sekali tidak nyebut yang namanya kopi walik, kopi dibalik, kopi walikan, kopi kuwalik dan apa apapun penyebutannya. Mana dia kenal! Namun, kopi walik, ternyata, bisa menggiring paradigma pemikiran salah satu tokoh ilmu sosial yang berkebangsaan Perancis itu.
Apa hubungannya? Nah, mari kita ngaji kopi ma-sama. Selama ini, setidaknya, sebelum pemikiran post strukturalis pak Fuko ini lahir, kekuasaan semata-mata dipahami adalah milik penguasa. Penguasa identik dengan negara, pemilik modal, VOC, tuan tanah, komperador, pemilik kebun kopi, pemilik kafe, barista, tukang kredit, rentenir, dan seterusnya.
Dalam pemikiran Pak Fuko, sejatinya kekuasaan itu ada dimana-mana. Asal "dia" bisa dan mampu menggerakkan pengetahuan, maka kekuasaan itu menjadi ada. Itu berlaku bagi semua yang dianggap sebagai pinggiran. Berlaku juga bagi yang dianggap marjinal sekalipun.
Nah, Kopi Walik, kental dengan nuansa pinggiran. Cukup pekat dengan persepsi marjinal. Lihatlah, sangat gampang menandainya. Gaya kopi dan ngopi yang satu ini tidak bakal tersuguh mesra di kedai-kedai besar, coffee shop yang mengusung konsep ngopi dengan peralatan canggih dengan harga fantastis tiada tara.
Kopi walik adanya mesti di warung-warung. Angkringan-angkringan. Kedai-kedai gurem yang mengusung jualan tradisional. Karena nyentrik. Karena unik. Karena eksotis. Karena orang modern kadang suka kembali ke dunia masa lalu sebagai romantisme. Sebagai orang yang pernah merasa susah. Sebagai orang yang pernah tidak bisa menikmati kopi mahal. Sebagai orang yang tidak bisa dan tidak biasa ngopi dari biji kopi tjap asli.
Andaikan, dulunya, pencipta tradisi kopi walik itu memiliki pengetahuan, boleh jadi, kopi walik tidak menjadi persepsi pinggiran seperti sekarang. Andaikan, kopi walik itu, dikisahkan sebagai teknik membuat kopi dengan ektraksi seduh kopi yang maksimal, maka teknik gelas kopi dibalik ini tidak akan kalah dengan teknik membuat kopi ala aeropress yang kekinian, clever drip yang memukau dan seterusnya.
Andaikan, kopi walik ini diinjeksi dengan pengetahuan, masihkah dia tak punya kuasa bergeser dari area pinggiran? Jawabnya, seperti tergantung pada centhelan. Tergantung pada stakeholders perkopian nusantara “berkenan” mengusung nilai lokalitas yang Indonesia banget ini atau tidak. Oke, selamat ngopi. widikamidi