Potensi Radikalisme itu Ada di Semua Agama
Kesedihan saya memuncak kemarin. Saat menyaksikan CNN yang mengabarkan penembakan brutal kepada jamaah yang sedang salat Jumat di Selandia baru.
Apalagi setelah dipastikan 49 orang meninggal karenanya. Juga sejumlah orang terluka akibat tembakan peluru tajam oleh seorang oleh media Barat disebut sebagai nasionalis putih.
Tak berselang lama, kesedihan bertambah mendengar ada OTT KPK yang melibatkan ketua umum partai dan pejabat Kementerian Agama. Peristiwa OTT-nya di Surabaya lagi. Di kota tempat tinggal saya.
Keduanya memang kasus berbeda. Juga berjarak ribuan kilometer jauhnya. Tapi semuanya bersentuhan dengan agama. Satu kebencian terhadap penganut agama, satunya terkait institusi yang mengurusi agama.
Untuk yang disebut terakhir, ini bukan peristiwa kali pertama. Berulang kali kementerian itu dihebohkan dengan kasus korupsi.
Sejak kementerian tersebut menjadi jatah partai politik. "Repot kita kalau dipegang orang partai," keluh seorang Dirjen di Kemenag suatu saat.
Jadi, benih-benih korupsi memang bukan karena agamanya. Tapi lebih karena kebutuhan partai yang memang berbiaya tinggi. Ini yang mesti dicarikan solusi.
Agama --apa pun itu agamanya-- tentu tidak mengajarkan penyimpangan. Apalagi membenarkan perilaku korupsi. Semua agama mengajarkan kebenaran.
Karena itu, saya selalu memisahkan antara agama dengan orang beragama. Tidak ada agama yang salah. Tapi orang beragama yang salah.
Kesalahan itu bersumber dari keserakahan, keangkuhan, kesombongan dan rasa superioritas antar mereka. Bisa juga karena mereka tidak utuh dalam memahami teks yang menjadi sumber agama.
Aksi teror terhadap penganut agama di Selandia baru adalah contohnya. Sudah berabad perasaan keunggulan ras menjadi problem bersama. Di negara-negara yang sekalipun sudah dewasa.
Selalu ada orang dan kelompok yang berpaham radikal. Radikalisme selalu ada dalam setiap tatanan sosial. Baik itu dalam negara bangsa maupun kehidupan masyarakat.
Kata para ahli, radikalisme adalah suatu gagasan atau ide dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial-politik dengan menggunakan kekerasan. Dengan menggunakan cara yang ekstrem.
Sumber radikalisme adalah sikap dan tindakan yang menggunakan kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Mereka menjadi radikal karena perubahan yng diinginkan berlangsung singkat dan drastis.
Ideologi nasionalis ras putih menguat kembali sejak Donald J Trump terpilih menjadi presiden AS. Ia memang sejak awal menggunakan isu superioritas ras. Juga memancing kebencian terhadap salah satu umat beragama.
Dunia berduka atas peristiwa Selandia Baru. Semua komunitas beragama --termasuk Yahudi-- pun bersimpati terhadap korban dalam peristiwa ini. Simpati atas tragedi akibat kebencian terhadap penganut agama.
Tragedi Selandia Baru semoga bisa menyadarkan perlunya membangun paradigma baru dalam berpolitik dan beragama. Sudah cukup kekerasan atas nama agama di berbagai belahan dunia menelan korban jiwa umat manusia.
Saatnya menjadikan agama sebagai inspirasi membangun peradaban manusia yang lebih baik. Yang lebih ramah dan berkeadiln sosial. Bukan agama sebagai ancaman bagi berbagai kelompok maupun golongan.
Sudah saatnya juga melakukan reorientasi peran kementerian agama di Indonesia. Menjadikan instrumen pemerintah itu untuk pembinaan umat beragama. Menjadikan lembaga yang menbantu masyarakat beragama untuk menampilkan agama yang ramah.
Agama yang saling mencari kesamaan dan kebersamaan antar penganutnya. Penganut agama yang mampu memilahkan antara keyakinan personal sebagai hamba Tuhan dengan kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara. Agama yang membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia.
Saatnya kementerian agama tidak dipegang dan menjadi jatah partai politik. Tapi menjadi instansi pemerintah yang membantu umat beragama dalam memperbaiki kualitas kemanusiannya. Karena itu hindarkan dari politisasi kementerian tersebut. (Arif Afandi)