Kata KH. Ma’ruf Khozin Soal Radikalisme dan Fatwa NU untuk Perang
Beberapa bulan terakhir marak aksi terorisme yang berkedok jihad untuk berjuang membela agama. Dua di antaranya yang menggemparkan terjadi di Makassar dan Jakarta. Tak lain adalah kasus bom bunuh diri di depan Gereja Katedral pada 28 Maret 2021 dan di Markas Besar Kepolisian RI pada 31 Maret 2021.
Jika ditelisik lebih dalam bagaimana hukum aksi tersebut di mata Islam? Untuk menggali jawabannya Ngopibareng.id bertanya kepada ahli hukum Islam. Adalah KH. Ma’ruf Khozin, Ketua Pengurus Wilayah Aswaja NU Jawa Timur.
Ekstremis dan Radikalisme tak Pandang Agama
“Ekstremis itu ada di mana-mana. India, Amerika, Indonesia juga. Tapi karena negeri kita didominasi muslim seolah-olah banyak anggapan Islam kita moderat,” kata KH. Ma’ruf Khozin membuka percakapan.
KH. Ma’ruf Khozin menyebut, teror pembantaian di India dilakukan oleh Hindu ekstremis. Tapi hal tersebut tidak terlihat dan kurang diekspos. “Radikal itu tidak mengenal agama,” tegas KH. Ma’ruf Khozin.
Lebih lanjut, di dalam Quran terdapat dua ayat untuk perang dan berdamai. KH. Ma’ruf Khozin menjelaskan, rata-rata ekstremis terjerumus menerapkan ayat perang di negara damai. Ini yang membuatnya salah kaprah. Padahal jelas konteksnya perang. Jika negara tersebut dalam keadaan damai tidak boleh dipicu untuk berperang.
Angkat Senjata dalam Kondisi Perang
Kiai NU dan Muhammadiyah, kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia bersepakat tidak boleh membunuh pemeluk agama lain. Sementara, pada zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup, tetangga Nabi yang beragama Yahudi dan Nasrani dibiarkan hidup dengan tenang, damai dan rukun.
“Nabi baru berperang ketika ada yang mengangkat senjata terlebih dulu ke arah beliau. Nabi waktu itu mau dibunuh, makanya halal untuk menyerang. Itu sebagai bentuk jihad membela diri,” jelas KH. Ma’ruf Khozin.
Fatwa Perang NU
Sementara, fatwa untuk berperang baru dikeluarkan kiai NU saat penjajah tiba. Akhirnya pada 10 November 1945 waktu itu santri terjun langsung bergerilya membela tanah air di Kota Pahlawan.
Membela negara, umat, dan agama wajib hukumnya. Sama halnya dengan membela hak dalam menjaga harta. “Ada babnya sendiri. Muslim wajib membela hartanya ketika dirampok. Kalau beliau sampai wafat, itu terhitung syahid. Kalau perampoknya yang meninggal, pemilik harta benda dalam Islam beliau tidak dihukum mati,” tutur KH. Ma’ruf Khozin.
Nabi Muhammad Teladan Semua Umat
Tak sampai di situ, Nabi Muhammad SAW sendiri merupakan rahmatan lil alamin bagi semua umat. Tidak hanya muslim saja. Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang mempraktikkan toleransi dengan perilaku lemah lembutnya.
Ini dijelaskan dalam surah Ali Imran ayat 159. Jika diterjemahkan artinya sebagai berikut: "Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu".
Hati-hati Provokator dan Pengacau
Di sisi lain, seringnya isu intoleransi di Indonesia begitu sensitif dan cepat tersebar. Publik menjadi tersulut dan geger. Rupanya orang yang tugasnya menjadikan isu semakin panas alias ‘pengompor’ sudah ada sejak zaman Rasulullah.
Waktu itu ‘Aisyah naik unta milik salah satu sahabat nabi. Di Madinah rumor yang beredar ‘Aisyah bermain serong dengan sahabat Nabi yang menemani beliau.
Mengetahui hal itu Nabi Muhammad sedih bukan main. Beliau gelisah dan merasa tak tenang. Nabi sampai nggak berani keluar saking malunya. “Saat itu hoaks terbesar zaman itu, ‘Aisyah dituduh main hati dengan sahabat Nabi. Akhirnya turunlah surat An-Nur yang menyatakan beliau bersih. Tak lama turun lagi surat Al-Hujurat ayat 6 sebagai instruksi untuk tabayyun atau cek dan ricek,” tutup KH. Ma’ruf Khozin.