Rabi'ah Al-Adawiyah, Hanya Dia Cintanya
Oleh: Ady Amar
Apa pun yang akan Engkau
karuniakan kepadaku di dunia ini,
berikanlah kepada musuh-musuh-Mu.
Dan apa pun yang akan Engkau
karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu.
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku.
Inilah kisah Sufi perempuan yang dijuluki Guru para Guru, Rabi’ah al-Adawiyah. Lahir di Basrah di antara tahun 713-717 Masehi/95-99 Hijriah.
Rabi’ah lahir di perkampungan kumuh, dari keluarga miskin. Ayahnya, Ismail, memiliki empat anak perempuan, dan si bungsu dinamainya Rabi’ah, yang bermakna anak perempuan keempat.
Saat dia lahir, bilik rumah itu tampak gelap, karena Ismail tak mampu membeli minyak untuk lentera penerang.
Kehidupan keluarga ini terbilang miskin. Namun demikian, Ismail seorang asketik yang rendah hati dan penyabar. Kerap berpuasa dan hiudp dengan penuh cinta dan kasih, meski hidup serba kekurangan. Dalam suasana demikianlah Rabi’ah tumbuh. Rabi’ah pun tak pernah mengeluh meski hidup dengan serba kekurangan. Apa pun makanan
yang diberikan, dia tak pernah menolak untuk memakannya. Baginya itu karunia Allah yang mesti disyukurinya.
Terkadang, Rabi’ah melihat sendiri ayahnya pulang ke rumah dengan tidak membawa hasil apa pun, kecuali pakaian lusuh yang tertutup oleh jubah kumal. Demikian pakaian sang ibu, yang tak lebih baik dari pakaian yang dikenakan ayahnya.
Dari kakak-kakaknya Rabi’ah belajar tata krama, kesalehan ubudiah, dan doa-doa dilantunkan setiap waktu mengisi gendang telinganya.
Suatu ketika, saat keluarga itu makan malam, tentu dengan lauk seadanya, terlihat Rabi’ah menolak untuk ikut makan. Dalam hati Ismail bertanya, ada apa gerangan dengan Rabi’ah. Apakah karena makanan yang dihidangkan tidak memenuhi seleranya. Tidak biasanya demikian, lalu bertanya pada Rabi’ah. “Kenapa tak hendak makan? Apakah kurang berselera dengan makanan yang ada?”
Keluarga itu, seisi rumah, terperangah dengan jawaban Rabi’ah. “Ayah, apakah yang dihidangkan ini makanan halal? Makanan yang dijamin halalnya?”
Ismail tidak menjawab pertanyaan anaknya itu. Dia sadar bahwa itu bukan pertanyaan
sembarangan, itu pertanyaan dengan dorongan ruhani yang dalam.
Sang ibu tetap menyisakan sedikit makanan dalam mangkuk, berpikir siapa tahu malam nanti Rabi’ah lapar dan mau memakannya. Meski sampai pagi pun makanan itu tidak disentuhnya, dan Rabi’ah memilih pagi harinya berpuasa.
Sang ayah semalaman berpikir dengan sedih, gerangan apa yang ada di pikiran anaknya itu, sehingga mengajukan pertanyaan tentang kehalalan makanan yang dihidangkan. Lalu Ismail tersenyum-senyum, dia teringat akan khutbah seorang Syekh beberapa saat lalu di masjid dekat rumahnya. Saat itu sang Syekh bicara tentang anak kecil yang melakukan kegiatan ruhani lebih dini dari anak-anak sebayanya, semacam lebih dewasa dari usianya.
Mengingat apa yang disampaikan Syekh itu, Ismail tersenyum, timbul rasa suka citanya atas keruhanian Rabi’ah itu.
Acap pula Rabi’ah melantunkan bacaan Qur’annya di hadapan ayahnya, juz demi juz, membaca dengan suara merdu. Ismail mendengarkan bacaan itu sambil berlinang air mata bahagia. “Ya Allah, akan Engkau persiapkan seperti apa anakku Rabi’ah ini, yang sikap keagamaannya melebihi anak seusianya, dan bahkan dengan ketiga kakaknya.”
Ismail meninggal saat Rabi’ah menjelang dewasa, dan lalu tidak lama disusul ibunya. Rabi’ah dan ketiga kakaknya hidup makin menderita dengan serba kekurangan.
Rabi’ah tumbuh dengan kehilangan rasa cinta dan kelembutan kedua orangtuanya. Namun, dia tetap tegar bersandar pada iman dan keyakinannya meski serba kekurangan, yatim piatu, dan hidup dalam serba kebingungan.
Tidak lama setelah kedua orangtuanya meninggal, Basrah dilanda kerusuhan sosial yang tak henti-henti. Macam-macam penyebabnya. Dan situasi makin buruk, ketika Basrah dilanda kemarau panjang lebih dari setahun. Ini menyebabkan bencana kelaparan yang amat hebat. Berdampak dahsyat pada keluarga miskin, termasuk Rabi’ah dan saudara-saudaranya.
Itulah yang menyebabkan empat bersaudara itu terpisah satu dengan lainnya, masing-masing menyelamatkan diri mencari remah-remah roti sisa makanan orang kaya.
Dalam kondisi tidak menentu, dan kelaparan makin mengganas, maka pencurian dan
perampokan di Basrah merajalela. Dan Rabi’ah yang mulai tumbuh dewasa dengan tubuh kurusnya berjalan tidak menentu, dan laki-laki jahat menangkapnya, bagai menangkap kucing di jalanan. Tak ada yang bisa membantu menyelamatkannya.
Rabi’ah dijual sebagai budak dari satu majikan ke majikan lainnya. Dan dia melayani semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya dengan patuh dan sabar. Sampai suatu hari, Rabi’ah berdoa memohon kepada Allah, agar bisa terlepas dari penderitaan. “Ya Allah, hamba adalah yatim piatu yang sengsara, yang terperangkap dalam perbudakan dan tanpa perlindungan, dan hamba putus asa karenanya. Tetapi keinginan terbesar adalah hamba ingin tahu apakah Engkau mengasihi hamba, atau sebaliknya?”
Tanpa disadarinya, saat Rabi’ah berdoa, sang majikan mendengarnya, dan lalu merasa ketakutan yang sangat, saat Rabi’ah melanjutkan doanya, “Ya Allah, Engkau Tahu bila hati ini hanya akan patuh kepada-Mu, dan sinar mata hamba hanya untuk mengabdi, melayani-Mu. Jika memang ini sudah takdir, hamba tidak akan berhenti memohon kepada-Mu, tidak hanya sekali dua kali. Dan Engkau akan membiarkan hamba dalam kemuliaan di antara umat-Mu yang menderita.”
Mendengar doa Rabi’ah itu, sang majikan gemetar dan cemas, jika tidak saja membebaskannya, pikirnya, maka bencana nantinya yang akan dia terima.
Pagi harinya dia memanggil Rabi’ah, dan berharap maaf darinya, dan membebaskannya. “Saat ini engkau perempuan bebas, Rabi’ah. Jika engkau sudi tinggallah bersama kami, dan jika engkau lebih memilih pergi maka pergilah. Tinggallah di mana saja engkau kehendaki.”
Siang harinya Rabi’ah meninggalkan sang majikan, menarik napas dalam kesyukuran terbebas dari praktik perbudakan yang meletihkan, dan membuat tubuhnya kurus kering dengan wajah tampak lebih tua dari usianya.
Hasan al-Bashri Sang Guru Zaman
Asketisme Rabi’ah bersumber dari wacana seorang zahid dari Basrah, Hasan al-Bashri. Dia mengajarkan tentang hidup sesudah mati, tentang kedahsyatan api neraka. Itulah ajarannya.
Hari Peradilan merupakan topik utama ajaran yang diberikan pada pengikutnya.
Hasan al-Basrih memberi kehidupan spiritual, dan mengajarkan pengetahuan dengan tidak melebih-lebihkan bangsa Arab dengan selainnya (ashabiyah).
Di Basrah, jika orang bebrbicara tentang seluk beluk ilmu hukum Islam (fiqih), kefasihan dalam berdalil, dan bahkan kepiawaian dalam seni syair, mereka akan merujuk pada Hasan al-Bashri. Dia tak tertandingi.
Hasan al-Bashri adalah Guru Zaman. Sepanjang hidup mengajar murid dari beberapa generasi di sekolah yang dia dirikan di Basrah. Muridnya tak terhitung jumlahnya. Siapa pun yang mendengarkan ajarannya hanyut mengikutinya. Basrah dipenuhi orang-orang zuhud karena sentuhannya.
Namun demikian, tidak sedikit muridnya yang lalu memilih jalannya sendiri karena silau dan rakus akan harta duniawi. Lalu, Rabi’ah al-Adawiyah datang sebagai penerang dan “bintang” di antara murid-muridnya.
Rabi’ah adalah salah seorang asketik yang ekstrem meninggalkan kehidupan duniawi.
Membunuh kecenderungan kewanitaannya menuju kehalusan budi pekerti, mengasingkan diri dari kehidupan dunia, makan serba sedikit, dan berpakaian ala kadarnya. Dia memilih jalan sufisme dengan tetap menaruh perhatian pada fiqih. Rabi’ah berlari meninggalkan dunia menuju Cinta Ilahi.
Hakikat Cinta
Basrah dan Kufah saat itu menjadi pusat pendidikan dan peradaban Islam. Di Basrah, Rabi’ah bertemu dengan tokoh-tokoh Sufi terpandang, Dzunnun al-Mishri, Sufyan ats-Tsauri, al-Jahizh (Mu’tazilah), dan lainnya.
Adalah al-Jahizhlah orang pertama yang mendokumentasikan kiprah Rabi’ah sebagai Sufi perempuan dan tentang kepenyairannya. Ini bisa ditemui dalam kitab karyanya, al-Bayan wa at-Tabyan.
Ada kisah menarik dalam kisah itu, tentang bagaimana Rabi’ah menolak pemberian dari orang yang iba atas kondisi hidupnya yang serba kekurangan.
“Sungguh aku malu meminta harta dunia pada Sang Pemilik (Allah), lalu bagaimana aku bisa menerima pemberian manusia yang sejatinya bukan pemiliknya.”
Saat Sufyan ats-Tsauri jumpa dengan Rabi’ah di sebuah majelis, ats-Tsauri bertanya tentang hakikat iman. Rabi’ah menjawab dengan ilustrasi yang indah.
“Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka, dan ingin pada surga seolah aku ini buruh yang tak patuh. Jika takut pada majikan, aku bekerja, atau jika diupah aku mau bekerja. Aku menyembah-Nya semata karena cinta dan rindu pada-Nya.”
Pun saat Dzunnun al-Mishri bertanya tentang hakikat cinta, Rabi’ah malas menjawabnya, dan menangkis dengan jawaban mengelak, “Subhanallah, sebenarnya engkau sudah tahu akan jawabannya, bahkan paham makna makrifatnya.”
Dzunnun tak kehabisan akal memaksa Rabi’ah untuk menjawabnya, “Orang yang bertanya itu punya hak pula untuk dijawab.”
“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: Cinta karena hasratku, dan cinta karena Engkau memiliki cintaku.”
Perasaan cintanya pada Allah tak terbendung dan bergemuruh dalam dirinya, baik dia dalam sendiri maupun tengah berada dalam sebuah majelis. Rabi’ah menempuh semua jalan untuk mencari cinta-Nya, mengerjakan apa pun agar dekat dengan-Nya. Penyesalan diri hanya pada-Nya.
Suatu ketika seorang laki-laki mencoba mengetuk pintu hatinya, menawarkan pernikahan, Rabi’ah menolaknya. Dia tak ingin perkawinan itu nantinya akan memalingkan cintanya pada Allah.
Ketika ditanya kenapa tidak menikah, Rabi’ah menjawab, “Ada tiga hal yang menyebabkanku sedih, namun jika ada laki-laki yang dapat membebaskanku dari ketiga hal itu, maka aku akan menikah dengannya.”
Ketiga hal itu apa, tolong terangkan, sergap si penanya.
“Pertama, jika aku meninggal, akan mampukah imanku tetap suci? Kedua, pada Hari Peradilan, akan mampukah aku menghadirkan Buku Catatan perbuatan dengan tangan kanan? Dan terakhir, jika Hari Akhir tiba dan para Salihin dihantar menuju surga dan pendosa menuju neraka, dalam kelompok mana aku berada?”
Mendapat jawaban Rabi’ah itu, sang penanya menjawab, “Saya tidak tahu apa pun tentang apa yang engkau tanyakan, itu cuma Allah Yang Tahu jawabannya.”
Alhasil, itulah bentuk “tangkisan” Rabi’ah dalam berargumen jika ada yang menanyakan perihal pernikahan.
Pilihan Rabi’ah atas hidup tanpa menikah, tentu itu di luar pikiran umum, bahkan sesuatu yang absurd. Menikah seharusnya menjadi dambaan kaum perempuan. Rabi’ah melawan kodrat dan mengubur dalam-dalam perasaan kewanitaannya bahkan keibuannya, yang dimiliki setiap perempuan.
Widad el-Sakkakini, novelis kontemporer asal Lebanon, memberi ilustrasi menarik tentang Rabi’ah, berkaitan dengan penolakannya pada pernikahan.
“Tidak diragukan, bahwa Rabi’ah memiliki kecerdasan dan spiritual yang cenderung dipengaruhi oleh kodratnya sebagai perempuan. Dia dianugerahi, tidak saja bakat alam, namun juga dengan kehidupan spiritual yang selaras dengan keluasan sifatnya dan diimbangi dengan kehidupan duniawi yang sederhana, merupakan kehidupan ideal. Saya percaya bahwa dia menyimpan rasa kemanusiaannya yang jauh di lubuk hatinya, kehilangan kunci dan lupa bagaimana membukanya.” (First Among Sufis, the Octagon Press, Ltd., London-England).
Pesona keindahan Tuhan membuat Rabi’ah mabuk kepayang. Tidak ada yang mampu
membelokkan kepada makhluk lainnya. Saat ditanya, apakah dia membenci iblis, Rabi’ah menjawab, “Cintaku pada-Nya telah memenuhi seluruh kalbu, hingga tak ada lagi tempat untuk benci kepada siapa saja, termasuk kepada iblis sekalipun.”
Rabi’ah melebur dalam cinta yang paling sublim, yaitu Cinta Ilahi. Dan jejak tapaknya menuju Cinta Ilahi mampu mempengaruhi para penyair Sufi sesudahnya, semisal al-Balkhi, at-Tustari, al-Ghazali, al-Attar, Rumi, dan bahkan Ibnu ‘Arabi.
Antara pecinta dan Kekasihnya
tak ada antara
Ia bicara dari rindu
Ia mendamba dari rasa.
Akhir Kehidupan Rabi’ah
Attar mengatakan tentang Rabi’ah, bahwa dia adalah “Maryam kedua, dan seorang perempuan suci.”
Di akhir hidupnya, Rabi’ah al-Adawiyah sakit-sakitan, menyebabkan tubuhnya kurus. Setiap berdoa, dia menangis dan merintih, tetapi bukan karena menahan sakit tak terperih. Bila ditanya, “Mengapa engkau menangis, wahai Rabi’ah, apa yang menyedihkanmu?”
Dijawabnya, “Aduh, penyakitku tak dapat disembuhkan oleh tabib. Obatnya hanyalah jika aku bertemu Allah. Harapan inilah yang membantuku menjadi sabar menghadapi kerinduan kepada-Nya. Itulah harapanku, memperoleh segalanya di dunia lain.”
Ditemani Abdah binti Abi Shawwal di akhir hidupnya dengan sabar. Rabi’ah tidak ingin membebani orang lain mengurus jenazahnya, dan berpesan pada Abdah, jika ajalnya sampai, agar membungkus dengan kain kafan yang sudah disediakannya.
Kalangan sejarawan, di antaranya Ibnu Khalikan, Ibnu Syakir, dan juga Ibnu al-Imaad, menulis bahwa Rabi’ah meninggal pada tahun 801 Masehi/185 Hijriah, dalam usia 83 tahun, dan dimakamkan di Basrah, Iraq.
Meski sudah 12 abad lebih kematiannya, Rabi’ah terus dibicarakan tak henti. Entah sudah berapa ratus buku tentangnya diterbitkan dalam berbagai edisi, dan entah berapa ratus karya disertasi mengangkat tema tentangnya.
Salah satu yang menarik, di tahun 1928 seorang perempuan Inggris, Margaret Smith, menulis disertasi Doktor Filsafatnya di University of London, dan di tahun yang sama Cambridge University Press menerbitkannya, Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam. Sebuah karya tentang Kehidupan dan Ajaran Spiritual Rabi’ah al-Adawiyah yang memukau. Hingga kini buku itu dianggap sebagai karya paling komprehensif: Mampu memotret kehidupan perempuan asketik itu dengan amat baik.**
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement