“Ra-ssi-ya.. Ra-ssi-ya.. Ra-ssi-ya!!â€
Minggu, 1 Juli malam hari, Lapangan Merah dan jalan-jalan utama kota Moskow bersuka. Warga tumpah ke jalan. Bendera triwarna horisontal putih biru merah dikibarkan di mana-mana. Beraneka minuman beralkohol jadi pelengkap merayakan kegembiraan.
Rusia lolos ke perempatfinal, delapan besar Piala Dunia 2018!
Yang dikalahkan tak tanggung-tanggung, Spanyol, sang juara Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012. Tim generasi emas Spanyol pengoleksi tiga gelar kejuaraan bergengsi berturut-turut itu masih menyisakan Andres Iniesta, Jordi Alba, Gerard Pique, dan Sergio Ramos dalam laga enam belas besar Piala Dunia 2018 melawan tuan rumah Rusia di Stadion Luzhniki, Moskow, kemarin.
“Wow.. kamu dari Indonesia? Saya pernah ke Bali. Ayo kita angkat gelas tequila tiga kali demi kemenangan Rusia malam ini,” kata seorang perempuan kepada Joaquim Rohi, teman seperjalanan saya dari Jakarta. Di kawasan Okhotny Ryad, titik sentral kota Moskow, perempuan itu bersama cowok yang mengenakan jersey ‘Ultras Spartak Moskow’ itu pun mengajak Rohi bersulang. Toast-nya harus tiga kali, tak boleh kurang, sebagai lambang penghormatan.
Lolos ke delapan besar Piala Dunia menjadi pencapaian tertinggi bagi tim ‘Beruang Merah’ sejak Rusia melepaskan diri dari Uni Soviet dan memainkan pertandingan internasionalnya sebagai sebuah ‘negara baru’ pada 16 Agustus 1992. Pertandingan perdana itu berakhir 2-0 untuk Rusia melawan para pemain mantan dari negara Uni Soviet.
Sejak itulah, mereka bermain di Piala Dunia bukan atas nama Uni Soviet, tapi atas bendera Rusia, sementara 14 negara pecahan lain mengusung bendera berbeda, dengan 9 di antaranya tersebar di Eropa yakni Estonia, Latvia, Lituania (negara-negara Baltik), Belarus, Moldova, Ukraina (Eropa Timur) Armenia, Azerbaijan, dan Georgia (Kaukasus Selatan).
Adapun empat negara lain digolongkan sebagai Asia Tengah, yakni Kazakhstan, Kirgisztan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Tampil atas bendera Rusia kali pertama terjadi di Piala Dunia Amerika Serikat 1994. Lolos ke putaran final, kiper Stanislav Cherchesov (pelatih Rusia saat ini), Aleksander Borodyuk, Viktor Onopko, Oleg Salenko, Dmitro Cheryshev, Aleksandr Mostovoi, Vladimir Beschastnykh dan kawan-kawan tergabung di Grup B bersama Kamerun, Swedia, serta Brasil. Namun, tim asukan Pavel Sadyrin terhenti di babak grup setelah dua kali kalah, 0-2 dari Brasil dan 1-3 dari Swedia.
Namun, lima gol dalam sekali pertandingan dari Salenko mencatat rekor tersendiri pada Piala Dunia saat Rusia membantai Kamerun 6-1. Rusia pulang kampung lebih awal, tapi di akhir turnamen, Salenko menjadi pencetak gol terbanyak dengan 6 gol bersama Hristo Stoichkov dari Bulgaria.
Pada 1998, Rusia gagal lolos ke Piala Dunia Prancis.
Piala Dunia 2002 di Jepang Korsel, timnas Rusia kembali masuk putaran final tapi juga gagal masuk 16 besar karena kalah 0-1 dari Jepang dan 2-3 dari Belgia. Padahal, laga pertama begitu menanjikan kala Viktor Onopko dkk menang 2-0 atas Tunisia yang menyebabkan pecahnya keramaian berbuntut keributan di Moskow.
Cerita buruk kembali terjadi pada penyisihan Piala Dunia 2006 menuju Jerman. Rusia bahkan tak bisa melaju ke babak play-off Zona Eropa karena kalah nilai dari Portugal dan Slovakia dari penyisihan Grup 3.
Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan juga digelar tanpa hadirnya Rusia yang kandas di babak play-off kualifikasi Eropa karena defisit gol tandang dari Slovenia. Tim besutan Gus Hiddink menang 2-1 di Stadion Luzhniki, Moskow tapi kalah 0-1 di Maribor.
Empat tahun lalu di Brasil, tim asuhan Fabio Capello kembali datang membawa kehormatan ke ajang sepakbola tertinggi antar bangsa ini. Namun, Vanil Berezutski dan kawan-kawan gagal lolos dari fase Grup H yang dimenangi Belgia dan Aljazair. Tampil tiga kali, Rusia bermain imbang 1-1 dengan Korsel maupun Aljazair, serta kalah 0-1 dari Belgia.
Jadi, keberhasilan Rusia menembus delapan besar kala tahun ini Piala Dunia digelar di rumah mereka menjadi sebuah pencapaian besar bagi sejarah persepakbolaan negara ini.
Inilah bangsa pekerja keras. Antara lain juga ditunjang ‘keterpaksaan’ karena kondisi iklimnya, Saat musim dingin, suhunya bisa mencapai berminus-minus derajat Celcius. Rusia memiliki Desa Oymyakon, yang pernah menjadi desa dengan suhu terdingin di dunia saat ukuran temperatur menunjukkan minus 71 derajat Celcius pada 1924. Kota terdingin di dunia di Yakutsk yang pernah mencapai minus 50 derajat Celcius. Ukuran suhu yang bisa membuat bulu mata membeku.
Ray Sihombing, sahabat saya yang sudah 12 tahun bermukim di Moskow pernah bertanya ke kawannya asal Rusia, mengapa bangsa ini dikenal berwajah kaku dan nyaris tak pernah menampakkan senyum. “Cobalah Anda tersenyum, membuka mulut dan kelihatan gigi saat musim dingin tiba. Rasakan betapa ngilunya gigi Anda,” jawab kawan Rusia itu. Akhirnya, jadilah paras garang itu sebuah kebiasaan.
Iklim dingin pun menjadikan mereka berjalan lebih cepat. Tapak langkah-langkah dari rumah menuju stasiun atau gedung tempat bekerja jauh lebih bergegas dari kebanyakan orang Asia. Maklum ada tujuan yang hendak dicapai: sebuah tempat tertutup yang tak sedingin kawasan terbuka seperti di jalan raya.
Rusia, selamat tertawa. Lupakan dulu bagaimana hasil pertandingan delapan besar melawan Kroasia, akhir pekan mendatang di Sochi, kota yang pernah menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2014 dan menggelar ajang Formula 1 sejak 2010.
Paka, Dasvidaniya, Spasiba… Selamat Tinggal Rusia. Begitu memposting tulisan ini, saya segera mengepak koper. Kembali menuju Bandara Domodedovo Moskow, mengejar penerbangan sore Thai Airways menuju Indonesia tercinta dengan transit sejenak di Bangkok.