Quo Vadis Politik Kebudayaan Jawa Timur?
Oleh: Halim HD
Peristiwa Gunung Semeru yang meluapkan lahar dan memakan korban jiwa serta meluluhlantakkan ratusan rumah dan sarana insfrastruktur public, merupakan isyarat alam yang tak sepenuhnya bisa kita duga, betapapun ilmu pengetahuan sudah demikian majunya. Alam punya kehendak tersendiri untuk menyatakan dirinya.
Dalam alam pikir kaum tetua pada zaman yang lampau, mereka punya sejenis ilmu pengetahuan yang disebut “elmu kawruh” tentang tingkah laku alam semesta yang bisa dibaca secara personal. Kita sebut “tingkah laku” alam semesta, karena para tetua menganggap alam semesta, makro kosmos yangmembentang merupakan suatu wujud dari persaudaraan dengan mikro kosmos, wujud manusia, yang saling berinteraksi dengan jagat gede. Isyarat-isyarat alam diresapi dengan kebijakan dan dipraktekan melalui kepekaan terhadap tanda-tanda yang ada di sekitar kehidupan, melalui tingkah laku hewan, deru angina dan gelombang laut.
Zaman berubah, dan “elmu kawruh” kian menjauh dari diri manusia zaman modern, kepekaan tak lagi dimiliki, dan digantikan oleh ilmu pengetahuan dan sarana tehnologi modern yang kian canggih namun tak juga mampu membaca gejala dan tanda-tanda zaman. Tentu saja kita tak menolak perkembangan sarana tehnologi dan kemajuan ilmu pengetahuan untuk membaca tanda-tanda jagat gede yang kian rumit untuk dipahami. Sementara itu “elmu kawruh” kian menipis dan hanya seseorang yang mengetahuinya, dan itupun dianggap “klenik” dan tak logis, tidak masuk ke dalam alarm pemikiran manusia modern, yang nampaknya cenderung meninggalkan jejak sejarah peradaban yang pernah ikut memberikan kontribusi kepada kehidupan manusia di zaman lampau.
Produk peradaban dari zaman lampau dianggap hanya sekedar untuk dongeng diwaktu senggang. Dan kita melupakan bahwa dongeng-dongeng yang pernah mengisi benak kita di kala masa kanak-kanak yang disampaikan oleh para tetua kita kian pupus maknanya di dalam pikiran kita.
Adakah kita kini main maju dengan sejumlah sarana tehnologi yang kita anggap penemuan mutahir? Ataukah sebenarnya kita memasuki jalan lain yang kita pilih? Tentu setiap pilihan memiliki resiko, punya konsekuensi logis bahwa jalan yang kita tapaki kian jauh dari jejak sejarah yang lampau, sementara jalan menuju ke depan juga tak sepenuhnya bisa menjawab persoalan yang kita hadapi.
Kegamangan ada di dalam diri kita, juga keraguan yang membuat kita bisa laju ke depan, atau kita malah lari kepada kembali ke masa lalu dengan cara yang fatalistik, escapism: pemujaan, glorifikasi membabi buta tanpa daya pikir yang kritis, dan bermunculan berbagai “mitos” yang jauh dari akal sehat.
Waktu, momentum itulah yang membuat kita selalu terjaga dan juga selalu kita masuk ke dalam situasi gamang. Di antara itu, kitapun bisa menemukan suatu jalinan antara momentum masa lampau dengan kekinian. Tak sepenuhnya jarak dan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi meninggalkan ruang pikiran. Katakanlah, masih tersisa jejak yang dari sisa itu kita mampu dan bisa merangkai, dan menjalin kembali suatu cara memahami gejala alam yang ada di sekitar kita.
Kasus banjir bandang yang memakan korban dan merusak sarana publik di Kabupaten Batu yang berdekatan dengan peristiwa festival kesenian Jawa Timur, misalnya, adalah kasus yang sesungguhnya telah disampaikan sejak puluhan tahun yang lampau melalui kajian ekologis, lingkungan hidup dan kajian tata ruang, bahwa alam sekitar akan menciptakan kemarahan akibat politik pembangunan yang tak mempertimbangkan ekosistem.
Kita nyatakan di sini dengan ungkapan “kemarahan alam” kepada kita, dengan dasar pemikiran yang mengandung kawikasanan dari ujar-ujar para tetua yang menganggap alam sekitar sebagai saudara kandung yang perlu disapa dan dilindungi. dasar pikiran dari masa lampau yang sesungguhnya masih tersisa inilah yang perlu kita tautkan dengan pemikiran masa kini melalui penguasaan tehnologi dan ilmu pengetahuan yang kita miliki, agar kita bukan hanya bisa menimbang tapi juga menerapkan suatu politik pembangunan yang didasarkan kepada kebijakan politik kebudayaan yang menjadi dasar bagi setiap tindakan kita.
Poilitik kebudayaan itulah yang sesungguhnya kita butuhkan untuk bisa memandang dan menimbang situs-situs arkeologis, misalnya kasus di Trowulan, di mana begitu banyak situs dibongkar dan disingkirkan hanya oleh kepentingan politik ekonomi pembangunan dalam wujud pendirian pabrik-pabrik yang tak menimbang khasanah arkeologis. Padahal, khasanah arkeologis ini adalah sumber ilmu pengetahuan dari masa lampau yang perlu kita gali dan kembangkan untuk menunjang pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Di Lumajang, penggalian tambang pasir marak, dan kita menemukan praktek ini merusak ekosistem lingkungan hidup dan rusaknya sumber air bagi masyarakat. Demikian juga tambang emas di Banyuwangi, bukan hanya berdampak secara ekologis juga kepada rasa keadilan bagi warga di sekitarnya.
Jika kita bicara dan memertanyakan tentang politik kebudayaan di Jawa Timur, bukanlah kita hanya bicara tentang praktek berkesenian. Itu hanya salah satu seginya. Saya akan menuliskannya pada esai berikutnya. Politik kebudayaan yang kita gugat kali ini jauh lebih mendasar, suatu gugatan kepada arah politik pembangunan yang selalu dalam wujud politik ekonomi yang penuh dengan interes subyektif dari kelompok tertentu yang dilindungi oleh elite penguasa local dan partai politik.
Kita mempertanyakan dan sekaligus menggugat adakah politik kebudayaan di Jawa Timur yang dirumuskan secara sahih dan prakteknya bias dilihat dan dirasakan oleh warga serta masyarakat. Selama ini kita disodorkan tentang keberhasilan berbagai praktek politik ekonomi pembangunan tanpa kita tahu dampak yang terjadi, seperti kasus-kasus di berbagai daerah di Jawa Timur tentang rusaknya eko sistem lingkungan hidup, situs-situs arkeologis yang tak dihiraukan sebagai sumber ilmu pengetahuan, tata ruang perumahan yang tak mempertimbangkan ruang publik, pabrik-pabrik yang tak mengindahkan polutan suara, air dan udara yang berdampak khususnya bagi anak-anak.
Dan kenapa pula reboisasi macet, penghutanan kota tak berjalan, sementara pembangunan taman-taman kota hanya enak dipandang mata, namun tak memiliki dampak kepada pengurangan polutan di wilayah urban? Misalnya kasus Surabaya dan Malang, dua kota yang diagulkan sebagai kota dengan taman-taman yang asri dengan biaya puluhan miliar setiap tahun, padahal sesungguhnya jauh dari upaya untuk melindungi warga dari segi ekologis.
Maka mempertanyakan dan menggugat arah praktek politik pembangunan yang selama ini tak menghiraukan politik kebudayaan, merupakan kewajiban bagi warga Jawa Timur. Kewajiban itu berkaitan dengan masa depan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang selama ini tak dihitung sebagai aset terpenting di dalam pengelolaan daerah.
*Halim HD, Networker Kebudayaan
Advertisement