Qadha' Salat Mayit, Utang Rukun Islam Siapa harus Menunaikan?
Dalam Kitab Ianah Ath-Thalibin 1/33 Syekh Abu Bakar Dimyathi mengutip dari Syaikh Zainuddin Al-Malibar India sebuah ketentuan hukum salat bagi orang yang sudah wafat:
(ﻓﺎﺋﺪﺓ) ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺻﻼﺓ ﻓﻼ ﻗﻀﺎء ﻭﻻ ﻓﺪﻳﺔ.
"Jika ada orang meninggal dan punya tanggungan salat maka tidak wajib diqadha' dan tidak wajib dibayarkan fidyah"
ﻭﻓﻲ ﻗﻮﻝ - ﻛﺠﻤﻊ ﻣﺠﺘﻬﺪﻳﻦ - ﺃﻧﻬﺎ ﺗﻘﻀﻰ ﻋﻨﻪ ﻟﺨﺒﺮ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻣﻦ ﺛﻢ اﺧﺘﺎﺭﻩ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ ﺃﺋﻤﺘﻨﺎ، ﻭﻓﻌﻞ ﺑﻪ اﻟﺴﺒﻜﻲ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺃﻗﺎﺭﺑﻪ.
"Menurut satu pendapat dari para Mujtahid disebutkan bahwa salatnya mayit boleh diqadha' (ditunaikan oleh ahli warisnya), berdasarkan hadis Bukhari dan lainnya. Pendapat ini dipilih oleh para imam kita dan dilaksanakan oleh As-Subki ketika sebagian keluarganya wafat"
ﻭﻧﻘﻞ اﺑﻦ ﺑﺮﻫﺎﻥ ﻋﻦ اﻟﻘﺪﻳﻢ ﺃﻧﻪ ﻳﻠﺰﻡ اﻟﻮﻟﻲ ﺇﻥ ﺧﻠﻒ ﺗﺮﻛﺔ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻰ ﻋﻨﻪ، ﻛﺎﻟﺼﻮﻡ.
ﻭﻓﻲ ﻭﺟﻪ - ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺜﻴﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ - ﺃﻧﻪ ﻳﻄﻌﻢ ﻋﻦ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﻣﺪا.
"Ibnu Burhan mengutip dari Qaul Qadim Imam Syafi'i bahwa ahli waris wajib untuk mensalatkan jika mayitnya memiliki harta warisan. Dalam pendapat ulama Syafi'iyah bahwa dibayarkan 1 mud (6 ons) untuk tiap salat yang ditinggalkannya"
Hadis riwayat al-Bukhari yang dimaksud adalah:
ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ، ﻗﺎﻝ: ﺟﺎء ﺭﺟﻞ ﺇﻟﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻓﻘﺎﻝ: ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺃﻣﻲ ﻣﺎﺗﺖ ﻭﻋﻠﻴﻬﺎ ﺻﻮﻡ ﺷﻬﺮ، ﺃﻓﺄﻗﻀﻴﻪ ﻋﻨﻬﺎ؟ ﻗﺎﻝ: " ﻧﻌﻢ، ﻗﺎﻝ: ﻓﺪﻳﻦ اﻟﻠﻪ ﺃﺣﻖ ﺃﻥ ﻳﻘﻀﻰ "
Dari Ibnu Abbas bahwa ada seseorang yang datang kepada Nabi shalla Allahu alaihi wasallam dan bertanya: "Wahai Rasulullah. Ibu saya wafat dan meninggalkan puasa 1 bulan. Apakah saya meng-qadha' puasanya?" Nabi menjawab: "Ya. Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan" (HR Bukhari)
Dalam hadis ini memang tidak menyebutkan Sahabat yang diperintah qadha' salat bahkan tidak ada. Hadis yang memerintah meng-qadha' dari ibadahnya mayit adalah puasa dan haji. Namun sebagian ulama menggunakan metode Qiyas / Analogi karena baik salat, puasa dan haji adalah sama-sama ibadah yang terdapat dalam rukun Islam.
Hadis lainnya adalah riwayat dalam Sahih Muslim:
«ﺇﻥ ﻣﻦ اﻟﺒﺮ ﺑﻌﺪ اﻟﺒﺮ ﺃﻥ ﺗﺼﻠﻲ ﻷﺑﻮﻳﻚ ﻣﻊ ﺻﻼﺗﻚ، ﻭﺗﺼﻮﻡ ﻟﻬﻤﺎ ﻣﻊ ﺻﻮﻣﻚ»
"Sungguh dari bakti setelah bakti yang lain adalah engkau melakukan salat untuk kedua orang tuamu bersama dengan salatmu dan berpuasa untuk kedua orang tuamu bersama dengan puasamu"
Meskipun hadis ini terdapat dalam Sahih Muslim akan tetapi Imam Muslim menilai dhaif karena Hajjaj bin Dinar tidak pernah berjumpa dengan Nabi (terputus sanadnya). Sebab Hajjaj ini adalah Tabi'it Tabi'in, sehingga untuk meriwayatkan sebuah hadis masih memerlukan 2 sanad, yaitu Tabi'in dan Sahabat.
Dari uraian hadis di atas Imam Nawawi secara gamblang menyebut beberapa pendapat dari para ulama. Khusus qadha' salat mayit ini beliau berkata:
ﻭﺣﻜﻰ ﺻﺎﺣﺐ اﻟﺤﺎﻭﻱ ﻋﻦ ﻋﻄﺎء ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺭﺑﺎﺡ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺭاﻫﻮﻳﻪ ﺃﻧﻬﻤﺎ ﻗﺎﻻ ﺑﺠﻮاﺯ اﻟﺼﻼﺓ ﻋﻦ اﻟﻤﻴﺖ
Pengarang kitab Al-Hawi (Syekh Al-Mawardi) meriwayatkan dari Atha' bin Abi Rabah dan Ishaq bih Rahwaih bahwa beliau berdua membolehkan qadha' salat dari mayit (Syarah Sahih Muslim, 1/90)
"Pada intinya qadha' salat untuk mayit tidak wajib. Ada sebagian ulama yang membolehkan. Kalau wajib kita yang kesulitan," kata Ustadz Ma'ruf Khozin, Direktur Aswaja NU Center Jawa Timur.
"Kalau memang mayitnya tidak salat selama sakit beberapa hari masih sanggup dijalankan. Tapi kalau tidak salat 5 tahun? Langsung pegal linu di lutut."
Demikian penjelasan Ustadz Ma'ruf Khozin, Pengasuh Pesantren Aswaja Sukolilo Surabaya.