PWNU Jawa Timur Tegas Menolak Hukuman Kebiri
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menolak putusan hukuman kebiri bagi predator anak di Mojokerto, Muhammad Aris (20). Penolakan ini dikaji melalui bahtsul masail atau diskusi dengan kajian ilmiah berpedoman fiqih yang menilai hukuman kebiri tidak membawa kemaslahatan dan tidak sesuai dengan KHUP maupun kode etik dokter.
Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jatim KH Ahmad Asyhar Shofwan mengatakan, kebiri disebut takzir yang harus ada tujuan kemaslahatannya. Dalam hal ini, PWNU menilai tidak ada kebaikan dari hukuman kebiri ini. Hal ini karena kebiri akan berdampak kepada hak seseorang untuk memperoleh keturunan hilang.
"NU sebagai jamiah diniyah ormas keagamaan, maka sebagai dasar hukum harus menggunakan dasar hukum agama, dan dalam agama kita tidak mengenal hukuman kebiri. Sehingga kalau kita terima berarti kita akan membuat hukum sendiri yang kontra dengan pedoman hukum yang sudah ada," ujar Asyhar di Sekretariat PWNU Jatim, Surabaya, Kamis 29 Agustus 2019 petang.
Ashyar menilai hukuman kebiri kontra dengan hukum islam dan dapat merampas hak seseorang. "Hasilnya adalah PWNU tidak setuju adanya hukuman kebiri, pasti menurutnya di samping tadi kontra dengan hukum Islam, hukum-hukum itu harus melindungi hak-hak asasi dari pada umat manusia. Dalam hal ini adalah hak untuk berketurunan, kalau orang itu dikebiri berarti itu merampas hak orang untuk mendapat keturunan," katanya.
Kendati demikian, Asyhar tidak membenarkan perbuatan pelaku. Menurutnya, pelaku harus dihukum seberat-beratnya agar mendapat efek jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
"Lebih baik pelaku dihukum mati. Karena pelaku tidak akan mengulangi lagi, karena ya sudah mati kalau dihukum mati," ujarnya.
Selain itu, secara kesehatan, Asyhar menyebut kebiri kimiawi berdampak lebih berat daripada kebiri yang bersifat operasi. Karena yang rusak bukan hanya organ reproduksi tapi juga organ lainnya.
"Secara kesehatan, takzir kimiawi justru berdampak lebih berat daripada kebiri yang bersifat operasi. Karena yang rusak bukan hanya organ reproduksi tapi organ lain. Kalau dilaksanakan tentu oleh seorang dokter, tapi dalam kode etik dan sumpah tidak bisa melakukan eksekusi hukuman kebiri," ujar Ashyar.
Sementara DR Edi Suyanto selaku Badan Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI Jatim sekaligus wakil ketua tanfidziyah PWNU Jatim menolak menjadi eksekutor karena bertentangan dengan sumpah dan kode etik profesi, sementara di sisi lain banyak pihak yang mendukungnya mengingat semakin meningkatnya kejahatan seksual terhadap anak dari waktu ke waktu.
"Kebiri kimia tidak hanya merusak organ reproduksi tapi dapat merusak organ yang lain, serta berdampak negatif pada kondisi psikologis pelaku. Kalau untuk melindungi anak dari kejahatan seksual, maka pelaku harus dihukum dengan seberat-beratnya sesuai perundang-undangan yang berlaku" ujarnya.
Diketahui, terpidana kasus pemerkosaan anak di Kabupaten Mojokerto, Muhammad Aris (20), dijatuhi hukuman penjara masing-masing 12 dan 8 tahun. Tak hanya itu, majelis hakim juga menjatuhkan sanksi tambahan berupa hukuman kebiri kimia.
Advertisement