PWI Itu Punya Siapa
PWI itu punya siapa? Yang jelas bukan milik pemerintah, meskipun tidak semua pemerintah buruk, tapi juga tidak semua rezim baik. Supaya tidak terseret menjadi milik pemerintah, apalagi pemerintah yang buruk, maka pengurus PWI Pusat harus konsisten menjaga sikapnya, yaitu independen dan profesional tanpa membedakan baik suku, agama, dan golongan maupun keanggotaan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Ini mengutip sepenuhnya Peraturan Dasar/PRT PWI Bab 1, Pasal 1 Ayat 3.
Tapi dari ’huru-hara’ di kepengurusan PWI Pusat yang sekarang jadi pemberitaan, masyarakat luas kini sudah mengetahui ibaratnya PWI Pusat sekarang sudah jadi milik Kementerian BUMN. Untuk melaksanakan program UKW (Uji Kompetensi Wartawan) PWI boleh saja mencari sponsor, tetapi bukan dari Kementerian BUMN. Tokh PWI juga sudah menerima dana dari APBN. Untuk membiayai program kompetensi wartawan, Kementerian BUMN memberi dana Rp 6 m, yang sudah cair Rp 4,6 milyar, sedangkan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan UKW di 10 provinsi hanya Rp 1,5 milyar..
Kompetensi macam apa yang dimaui pengurus PWI Pusat dari para wartawan Indonesia? Apakah wartawan berkomepeten itu adalah mereka yang tidak mengkritisi borok-borok di BUMN, misalnya soal timah, batubara, atau soal pertambangan secara lebih luas? Bagaimana kalau nantinya wartawan yang dianggap kompeten menulis soal energi dan pertambangan, hanya mereka yang memuji dan menjilat, memutar balikkan fakta dan data, agar mereka masuk katagori berkompeten? Cari sponsor dari branding laptop atau hape misalnya, yang pasti digunakan oleh wartawan baik anggota PWI maupun bukan, menurut saya lebih terhormat dan bermartabat bagi organisasi profesi sekelas PWI.
independensi, apakah harganya hanya Rp 4,6 milyar, sesuai dana yang masuk ke rekening PWI Pusat dari Kementerian BUMN? Di bawah, wartawan dianjurkan tidak menerima amplop, di pusat malah lewat rekening. Sikap Independen harus terus menerus dijaga dan dirawat apabila pengurusnya hendak menjalankan amanat Peraturan Dasar PWI.
Saya pernah jadi anggota PWI, tapi kemudian dipecat oleh rezim Orde Baru karena saya ikut menandatangani Deklarasi Sinargalih, 7 Agustus 1994. Jadi secara lebih independen saya bisa melihat bagaimana PWI sekarang, yang menurut saya telah menjadi bagian dari rezim, yang salah satu cirinya adalah bagi-bagi uang haram. Pecat memecat antar pengurus yang sekarang sedang ramai, saya anggap hanya kamuflase saja untuk menutupi masalah yang lebih substansial ini; moral dan etika. (m. anis)