Putusan MK Tentang UU Omnibus Law, Mempermainkan Rakyat
Mahkamah Konstitusi Kamis siang telah memutuskan bahwa UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Artinya, pemerintah diberi waktu dua tahun untuk memperbaikinya. Kalau dalam waktu dua tahun itu tidak dilakukan perbaikan maka undang-undang tersebut dianggap tidak berlaku.
Sebanyak 18 LSM, yaitu YLBHI dan 17 Lembaga Bantuan Hukum se Indonesia, Kamis sore mengeluarkan pernyataan, yang mengecam MK dan menganggap MK telah mempermainkan konstitusi dan mempermainkan rakyat.
Atas putusan ini, YLBHI dan 17 LBH Se-Indonesia menyatakan :
1. Dari putusan ini jelas pemerintah dan DPR telah salah, yakni melanggar Konstitusi dan melanggar prinsip pembuatan UU, walaupun putusannya inkonstitusional bersyarat dimana Pemerintah diberikan kesempatan untuk memperbaiki. Tetapi putusan MK menggambarkan kekeliruan yang prinsipil;
2. Dari putusan MK ini juga pemerintah tidak bisa memberlakukan dulu UU Cipta Kerja dan menghentikan segala proses pembuatan dan penerapan semua aturan turunannya. Pemerintah telah kehilangan legitimasi dalam menerapkan/melaksanakan UU Cipta Kerja. Padahal saat ini UU Cipta Kerja telah diberlakukan beserta seluruh PP turunannya. Maka penting untuk menghentikan segera UU ini dan seluruh PP turunannya demi mencegah timbulnya korban dari masyarakat dan lingkungan hidup.
3. Meminta pemerintah menghentikan segera proyek-proyek strategis nasional yang telah merampas hak-hak masyarakat dan merusak lingkungan hidup;
4. Jauh sebelum MK menyatakan UU CK melanggar Konstitusi, berbagai kelompok masyarakat di banyak wilayah dengan berbagai pekerjaan dan latar belakang telah mengatakan Omnibus Law UU CK melanggar Konstitusi, tapi Pemerintah bergeming. Pemerintah dan DPR harus menyadari kesalahan, bahwa terdapat kesalahan mendasar dalam pembentukan perundang dan tidak mengulangi, karena kekeliruan seperti ini juga dilakukan di UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan banyak peraturan perundang-undangan lainnya baik secara prosedur maupun isi;
5. Pada sisi lain, ketidakpercayaan terhadap MK terjawab sudah. Putusan ini adalah putusan kompromi. Putusan ini menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima, dan hanya mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian. Meskipun menyatakan bertentangan dengan UUD tetapi MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK. Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan “Batal” saja, sehingga tidak membuat bingung dan mentoleransi pelanggaran. ini juga membuat kondisi yang tidak mudah dipenuhi, dan malah menimbulkan ketidakpastian hukum. Bahkan 4 dari 9 hakim menyatakan dissenting dalam arti berpendapat UU OLCK sesuai dengan Konstitusi. Putusan MK ini seolah menegaskan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap MK yang tunduk pada eksekutif menjadi terbukti.
Jakarta, 25 November 2021
Hormat kami: Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), LBH Banda Aceh, LBH Medan, LBH Palembang, LBH Padang, LBH Pekanbaru, LBH Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Makassar, LBH Yogyakarta, LBH Papua, LBH Palangkaraya, LBH Manado dan LBH Samarinda.