Putusan MA Bolehkan Mantan Koruptor Nyaleg
Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengeluarkan putusan terkait uji materi atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Dalam putusannya tersebut, MA membolehkan mantan narapidana kasus korupsi, kejahatan seksual, bandar narkoba menjadi calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2019.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Abdullah saat dikutip media Jakarta, membenarkan judicial review atas PKPU Nomor 20/2018 telah diputuskan pada Kamis, 13 September 2018 kemarin.
"Iya, jadi peraturan KPU itu dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, Undang-undang Pemilu tentunya," ujar Abdullah, Jumat 14 September 2018.
Majelis yang memeriksa permohonan uji materi PKPU tersebut terdiri atas tiga hakim agung yakni Irfan Fachrudin, Yodi Martono, dan Supandi.
Uji materi itu sendiri dimohonkan Wa Ode Nurhayati, Muhammad Taufik, dan lain-lain, melalui nomor perkara 45 P/HUM/2018 dengan KPU sebagai pihak termohon.
Majelis membatalkan Pasal 4 ayat 3, Pasal 7 huruf g Peraturan KPU Nomor 20/2018 dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019.
Menurut Abdullah, sebagai penyelenggara, seharusnya KPU tidak diperbolehkan untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi para caleg eks napi tersebut. Itu lantaran dalam UU Pemilu memang tidak ada aturan yang melarang mereka untuk dipilih menjadi anggota dewan.
"Peraturan pelaksanaan (PKPU) tidak boleh membuat norma baru. Sekarang persoalannya apakah UU Pemilu membatasi? Nah maka peraturan pelaksanaan gak boleh membatasi hak politik mantan eks napi korupsi, kecuali dalam putusan pidananya dulu memang mencabut hak politiknya," kata Abdullah.
MA menilai, PKPU Nomor 20/2018 telah membatasi hak asasi seseorang. Padahal, pembatasan hak asasi pun seharusnya diatur terlebih dahulu dalam undang-undang, bukan dengan PKPU.
"Karena menyangkut hak asasi itu harus diatur dalam UU, bukan peraturan pelaksanaan oleh karena UU-nya tidak mengatur sedangkan peraturan KPU sebagai peraturan pelaksanaan membuat norma baru, maka itu bertentangan dengan UU Pemilu," katanya. (wit/ant)