Putri yang tak Patuh, Kisah Si Tolol, Si Bijak dan Kendi
Kisah-kisah humor dan kisah hikmah menjadi kekhasan ajaran dalam tradisi tasawuf. Terkadang membalikkan logika umum, tapi justru hal itulah yang mengagetkan kita akan kesadaran yang lebih hakiki atas kebenarannya.
1. Putri yang Tidak Patuh
Konon, ada seorang raja yang berpikir bahwa semua pengetahuan dan keyakinannya adalah benar tanpa salah. Dalam banyak hal ia menunjukkan dirinya adil, tetapi ia juga seorang yang terbatas pikirannya.
Suatu hari berkatalah raja kepada ketiga putrinya:
"Segala milikku adalah milik kalian juga, atau akan jadi milik kalian. Dari aku, kalian memperoleh kemakmuran. Akulah yang menentukan masa depan kalian, dan pada gilirannya nasib kalian."
Dua dari tiga putri itu patuh dan setuju saja akan ucapan raja mereka.
Tetapi, putri ketiga berkata:
"Betapa pun situasi menuntutku untuk selalu taat pada hukum, ananda tidak bisa menerima bahwa nasib ananda harus senantiasa ditentukan oleh kehendak Yang Mulia Raja".
"Begitukah? Mari kita lihat saja," kata sang raja.
Raja mengurungnya dalam sebuah sel sempit, dan putri itu merana di sana selama bertahun-tahun. Sementara itu, sang raja dan kedua putrinya yang patuh menghambur-hamburkan bagian kekayaan yang dulunya diperuntukkan bagi putri ketiga itu.
Raja berkata kepada dirinya sendiri :
"Anak ini dipenjara bukan atas kehendaknya, melainkan kehendakku. Itu buktinya bahwa nasibnya diatur oleh kemauanku, bukan kemauannya."
Penduduk negeri itu, begitu mendengar keadaan putri raja yang dipenjara, berkata satu kepada yang lain:
"Tuan Putri pasti telah melakukan atau mengucapkan sesuatu yang salah sehingga Sang Raja, yang adalah hukum di negeri ini, tega menindak darah dagingnya sendiri sedemikian kejamnya." Sebab bangsa itu belum sampai pada pemahaman bahwa mereka perlu membantah kepongahan raja yang merasa dirinya benar dalam segala sesuatu.
Dari waktu ke waktu raja itu mengunjungi gadis malang itu. Meskipun penjara telah merenggut kecerahan dan kekuatan dari dirinya, tetapi putri itu tetap bersikukuh mempertahankan sikapnya.
Akhirnya, habislah kesabaran raja tersebut.
"Penolakanmu," kata raja kepada putri itu, "hanya mengusik aku sedikit, walaupun tampaknya melemahkan kekuasaanku, jika kau tetap tinggal dalam kerajaanku. Aku bisa saja membunuhmu, namun aku raja yang penuh kemurahan. Karena itu, kau akan kubuang ke hutan belantara di seberang wilayah kekuasaanku. Tak ada yang menetap di belantara liar itu kecuali binatang buas dan orang-orang sinting yang ditolak dari masyarakat kita yang beradab. Di sana akan kau lihat apakah kau mampu bertahan hidup di tengah-tengah keluargamu itu; dan, jika ternyata bisa, mungkin memang di sanalah tempatmu, bukan di sini, di dalam istanaku."
Titah sang raja langsung dikerjakan, dan gadis itu diantar ke perbatasan kerajaan itu. Putri itu mendapati dirinya asing di alam liar yang sungguh berbeda dengan suasana serba nyaman di istana ayahnya. Tetapi, tidak perlu waktu lama baginya untuk melihat bahwa sebuah gua bisa dijadikan sebuah rumah, bahwa biji-bijian dan buah yang tersedia di pepohonan sama seperti yang tersaji pada piring-piring emas, bahwa matahari memberinya kehangatan. Alam liar memiliki aturannya sendiri dan menyediakan segala kebutuhan untuk bertahan hidup.
Setelah beberapa waktu, ia sudah bisa menikmati hidupnya. Ia mengambil air dari mata air, memetik sayur-sayuran dari bumi, membuat api dari kayu-kayu kering.
"Di sini," katanya kepada dirinya sendiri, "adalah suatu kehidupan yang unsur-unsurnya saling mengisi, membentuk sebuah kelengkapan, namun tak satu pun dari unsur-unsur itu yang secara sendiri atau bersama tunduk kepada perintah ayahku."
Suatu hari seorang pengelana yang tersesat dia seorang kaya dan berbudi tinggi --tanpa sengaja bertemu dengan putri buangan itu, jatuh cinta kepadanya, dan membawanya pulang ke negerinya. Di sana mereka menikah.
Setelah sekian waktu, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke alam liar, kemudian mereka membangun sebuah kota yang megah dan makmur di mana kebijaksanaan, akal, dan keteguhan hati mereka sepenuhnya terpancar. Orang-orang 'sinting' dan orang buangan lainnya, banyak di antaranya dulu dianggap orang gila, hidup serasi dan saling membantu dalam berbagai hal.
Kota itu dan desa-desa di sekitarnya menjadi mashyur hingga ke seluruh dunia. Kekuatan dan keindahannya lebih cemerlang dari pada kerajaan ayah sang putri.
Dengan suara bulat, para penduduk di wilayah tersebut, sang putri, dan suaminya diangkat untuk memerintah atas kerajaan baru dan serba indah itu.
Pada akhirnya, ayah sang putri memutuskan untuk mengunjungi negeri asing dan penuh teka-teki itu, yang dibangun di alam liar, dan seperti yang didengarnya, dihuni oleh orang-orang buangan yang direndahkan olehnya dan sejawatnya.
Dengan kepala tertunduk, perlahan dihampirinya tahta pasangan penguasa muda itu. Ketika ditengadahkannya matanya untuk memandang mereka yang keadilan, kemakmuran, dan kebijaksanaannya harum mengungguli miliknya ia dapat mendengar kata-kata lembut putrinya:
"Kau lihat, Ayah, setiap laki-laki dan perempuan mempunyai nasib dan pilihannya sendiri."
Catatan:
Menurut sebuah naskah Sufi, Sultan Saladin bertemu guru agung Ahmad Al-Rifai, pendiri Tarekat Rifaiyyah, 'Kaum Darwis yang Menangis', dan mengajukan beberapa pertanyaan.
Cerita di atas dituturkan oleh Rifai untuk menjawab pertanyaan: "Apa alasanmu, jika pun ada, sehingga engkau menganggap bahwa pemberlakuan aturan hukum tidaklah memadai untuk melestarikan kebahagian dan keadilan?'
Pertemuan itu terjadi pada tahun 1174, tetapi kisah ini, yang juga dikenal dalam tradisi-tradisi lain selain dalam naskah sufi tersebut, telah dipakai untuk menjelaskan kemungkinan adanya suatu perbedaan keadaan kesadaran dalam diri manusia.
2. Si Tolol, Si Bijak dan Kendi
Tolol merupakan sebutan bagi orang biasa, yang selalu saja keliru menafsirkan apa yang terjadi padanya, apa yang dikerjakannya, atau apa yang dilakukan oleh orang lain. Ia melakukan semua ini secara meyakinkan karena --baginya dan orang-orang sepertinya-- sebagian besar dari kehidupan dan pemikiran tampak masuk akal dan benar.
Seorang tolol semacam ini suatu hari diutus membawa sebuah kendi menemui seorang bijaksana untuk meminta anggur.
Di tengah jalan Si Tolol, karena kecerobohannya, menyebabkan kendi itu terbentur batu dan pecah. Sesampainya di rumah Si Bijak, ia memberikan pegangan kendi itu, dan berkata:
"Seseorang mengutus saya untuk mengirimkan kendi ini kepadamu, tetapi di tengah jalan sebongkah batu yang mengerikan mencurinya dari saya."
Karena geli dan ingin mendengar seluruh ceritanya, Si Bijak menyahut: "Bila kendi itu dicuri, mengapa pula kau bawa pegangan kendi itu kepadaku?'
"Saya tidak setolol sangkaan orang," jawab Si Tolol, "dan sebab itu pegangan kendi ini kubawa untuk membuktikan ceritaku."
Suatu pokok persoalan yang banyak diperbincangkan di kalangan para guru darwis adalah bahwa kemanusiaan umumnya tidak mampu mengenali kecenderungan tersembunyi dalam peristiwa-peristiwa yang memungkinkannya untuk memanfaatkannya bagi kepenuhan hidup. Mereka yang mampu melihat kecenderungan itu disebut Orang Bijak, sedangkan orang biasa dikatakan 'tertidur', atau disebut Orang Tolol.
Catatan:
Kisah ini, yang dalam bahasa Inggris dikutip oleh Kolonel Wilberforce Clarke (Diwan-I-Hafiz) merupakan cerita sejenis itu. Gagasannya konstruktif bahwa dengan menyerap ajaran ini lewat kisah-kisah sentilan, orang-orang tertentu mampu benar-benar "meningkatkan kepedihan" mereka terhadap kecenderungan tersembunyi tersebut.
Kutipan ini berasal dari koleksi darwis yang dikumpulkan oleh Pir-i-do-Sara, 'Yang memakai Jubah Bertambal', yang meninggal tahun 1790 dan dimakamkan di Mazar-i-Sharif, Turkistan.
Sumber:
Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.