Puska Melek UB Prihatin Maraknya Diskriminasi Via Verbal
Pusat Kajian Media, Literasi dan Kebudayaan (Puska Melek) Universitas Brawijaya (UB), Malang, mengadakan Forum Group Discussion (FGD) Toleransi Antar Umat Beragama dengan kelompok lintas keyakinan di Kota Malang.
Ketua Puska Melek, Abdul Wahid, mengatakan latar belakang diadakannya FGD tersebut disebabkan oleh maraknya tindakan diskriminasi melalui bahasa verbal, salah satunya penggunaan kata kafir.
"Ini juga untuk menindaklanjuti hasil Munas NU, yaitu merekomendasikan untuk tidak menggunakan kata kafir kepada muslim tetapi kepada muatin," tuturnya, Rabu 30 Oktober 2019.
Menurut Abdul Wahid, hasil Munas NU tersebut merupakan hal yang progresif, karena berupaya untuk mengkonteltualisasikan istilah keagamaan yang semula eksklusif menjadi inklusif.
"Ketika istilah privat itu (kafir) dipaksa untuk menyebut dengan cara pandang agama tertentu, itu menjadi bermasalah terutama dalam konteks kehidupan kenegaraan," ujarnya.
Puska Melek UB kemudian melakukan riset untuk mencari tahu bagaimana konteks kafir itu digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
"Setara Institute pada 2018 mengeluarkan rilis mengenai indeks kota toleran. Kota Malang berada di urutan ke-71 dari 94 Kota di Indonesia," jelasnya.
Puska Melek, lanjut Wahid, ingin menguji hasil rilis indeks kota toleran tersebut dengan melakukan riset penggunaan istilah kafir pada mahasiswa di berbagai kampus di Kota Malang.
Dari hasil riset Puska Melek UB, sebanyak 10 persen mahasiswa muslim yang pernah dipanggil kafir, mempersepsikan pangilan tersebut sebagai bentuk penghinaan.
Bagi mahasiswa non-muslim, sebanyak 37 persen yang pernah dipanggil kafir, mempersepsikan panggilan tersebut sebagai bentuk penghinaan.
Meski presentasenya kecil, menurut Wahid, ketika seseorang dipanggil kafir, hal ini menunjukkan bahwa tindakan diskriminatif, bisa dilakukan melalui bahasa.
"Penggunaan kata kafir secara teologis dalam ajaran agama itu ada. Tapi ketika didekatkan dengan peristiwa politik kata tersebut menjadi peyoratif yang mengarah pada tindakan diskriminatif," tuturnya.
Oleh karena itu, ujar Wahid, tindakan diskriminatif sekecil apapun tidak dapat dibenarkan. Masyarakat harus membedakan konteks penggunaannya pada aspek teologis dan politis.
"Riset ini juga berusaha mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan pembelaan terhadap kelompok yang terdiskriminasi terutama pada peristiwa politik yang menggunakan identitas sebagai komoditi," tutupnya.