Pupuk Subsidi Dibatasi, Bagaimana Petani Memupuk Tanamannya?
Regulasi terkait pembatasan pupuk bersubsidi diperkirakan bisa membuat para petani pusing tujuh keliling. Sebab, sejumlah sub sektor pertanian tidak lagi dilayani pupuk bersubsidi sejak Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian digulirkan.
Merujuk Permentan tersebut, hanya tiga sub sektor pertanian yang bisa mendapatkan pupuk bersubsidi yakni, tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Untuk sub sektor tanaman pangan hanya tiga jenis tanaman yang mendapat jatah pupuk bersubsidi yaitu, padi, jagung, dan kedelai.
Untuk sub sektor hortikultura yang masih ditoleransi menggunakan pupuk bersubsidi terdiri atas, tanaman cabai, bawang merah, dan bawang putih. Sedangkan sub sektor perkebunan, pupuk bersubsidi diperuntukkan tanaman tebu, kakau, dan kopi.
Di luar sembilan jenis tanaman itu, petani tidak bisa lagi mendapatkan pupuk bersubsidi untuk mempersubur tanamannya. Misalnya, petani tembakau, semangka, melon, kubis, hingga kentang harus rela membeli pupuk non-subsidi yang harganya tiga sampai empat kali dibandingkan pupuk bersubsidi.
“Permentan soal pembatasan pupuk bersubsidi ini sudah diundangkan sejak 8 Juli 2022 lalu,” ujar Kepala Bidang Sarana, Penyuluhan, dan Pengendalian Pertanian pada Dinas Pertanian (Disperta) Kabupaten Probolinggo, Bambang Suprayitno, Minggu, 24J Juli 2022.
Ia mengakui, Permentan yang baru itu memang kurang berpihak bagi sebagian petani di luar sembilan tanaman yang masih dilayani pupuk bersubsidi. Ribuan petani di kawasan Kabupaten Probolinggo yang secara turun-temurun, bahkan sejak zaman Belanda bertanam tembakau Paiton Voor Oogst (Paiton VO), akan kelimpungan.
Sebab mulai musim tanam tembakau tahun depan, mereka bakal “disapih”, tidak bisa menggunakan lagi pupuk bersubsidi. Sisi lain mereka sudah lama dimanjakan pupuk bersubsidi untuk mempersubur daun tembakaunya.
“Saya sebagai petani tembakau jelas pusing, lha nanti tembakau dipupuk pakai apa kalau pupuk bersubsidi tidak boleh lagi untuk tembakau?” ujar Andi Sirajudin, petani tembakau di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton.
Memang ada alternatif, petani bisa menggunakan pupuk organik seperti, pupuk kandang dan kompos. “Tetapi saya belum yakin, hasilnya bakal seperti pupuk buatan pabrik,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Taufik Djam’an, petani tembakau di Desa Sumurdalam, Kecamatan Besuk. “Melalui HKTI (Himpunan Kesatuan Tani Indonesia, Red.), para petani dianjurkan untuk beralih menggunakan pupuk organik,” ujarnya.
Taufik yang juga Humas dan Publikasi HKTI Kabupaten Probolinggo itu juga mengajak petani mulai sadar, tanah yang terus-menerus dipupuk dengan pupuk non-organik (pupuk pabrikan) justru rusak. “Unsur hara di dalam tanah rusak, petani juga sangat bergantung dengan pupuk pabrikan. Ini harus dihentikan,” katanya.
Disperta, kata Bambang, juga siap mendampingi petani untuk membuat pupuk organik. “Ini kebijakan dari pemerintah pusat, petani harus mulai membiasakan beralih ke pupuk organik, kami siap mendampingi petani,” katanya.
Jika tetap memaksakan diri menggunakan pupuk pabrikan yang non-subsidi tentu harganya selangit (mahal). Harga pupuk non-subsidi jenis ZA misalnya di pasaran dijual Rp700-800 ribu per kuintal. Sedangkan pupuk Urea non-subsidi lebih tinggi lagi, Rp 1,1 juta per kuintal.
Advertisement