Pungli Rutan KPK dan Video Call Seks
Oleh: Djono W. Oesman
Pungli Rp 4 miliar di Rutan KPK terungkap gegara selingkuh. Antara petugas registrasi Rutan KPK inisial M, 35, dengan istri tersangka korupsi tahanan KPK, sebut saja Bunga. “Benar,” ujar Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris kepada wartawan.
—----------
Kasus selingkuh (juga diduga suap) itu sudah ditangani Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Penyelidikan sudah terbukti. Pelaku M disanksi.
Dokumen salinan putusan Dewas KPK nomor: 01/DEWAS/ETIK/04/2023 yang dikutip berbagai sumber menyebutkan, Dewas KPK pertama kali menerima laporan tindak asusila pegawai KPK pada akhir Januari 2023.
Pelaku M. Korban (bisa juga disebut pelaku selingkuh) disamarkan, Bunga. Pelapor adik ipar Bunga, atau adik kandung suami Bunga, yang jadi tersangka korupsi jual-beli jabatan di Kabupaten Pemalang. Perkaranya ditangani KPK sejak Agustus 2022.
Tersangka di perkara jual-beli jabatan itu ada delapan. Bupati Pemalang non aktif, Mukti Agung Wibowo (MAW) dan anak buahnya: Abdul Rachman (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan). Mubarak Ahmad (Kepala Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah). Suhirman (Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa).
Moh. Ramdon (Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman). Bambang Haryono (Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik). Raharjo (Kepala Dinas Lingkungan Hidup). Sodik Ismanto (Sekretaris DPRD Pemalang).
Bunga adalah istri salah satu dari delapan tersangka tersebut, yang ditahan di Rutan KPK. Bunga ketemu M yang petugas registrasi Rutan KPK. Mereka bertukar nomor telepon sejak suami Bunga ditahan, Agustus 2022.
Sejak itu mereka sering telepon. Bunga di Pemalang, Jateng, M di Jakarta. Bahkan, kadang dini hari pukul 03.00. Bahkan, mereka telepon (video call) seks. Sampai M pernah jalan-jalan dengan Bunga di Tegal, Jateng.
Itu diungkap adik ipar Bunga. Diawali si adik ipar curiga pada awal September 2022, Bunga sering terima telepon, bergaya bicara mesra, setengah berbisik. Baru terungkap 5 Januari 2023. Ketika Bunga dan adik ipar besuk bersama ke Rutan KPK.
Bunga masuk Rutan menemui suami, si adik di luar. Bunga menitipkan HP ke adik, karena masuk Rutan dilarang membawa HP. Saat itulah adik memeriksa. Ternyata ada puluhan telepon antara Bunga dengan M yang dicatat di phonebook sebagai “Pusat HP”.
Adik mengkonfirmasi itu ke Bunga. Diketahui bahwa “Pusat HP” adalah M. mereka pun cekcok. Dikorek lebih dalam, Bunga mengakui, pernah telepon seks via video call. Bunga menunjukkan alat vital di situ. Bahkan pernah ketemu M di Tegal.
10 Januari 2023 adik melaporkan itu ke Pengaduan Masyarakat, surat elektronik KPK.
Dilaporkan pula, Bunga diduga menyuap M total Rp 72,5 juta. Dengan lima kali transfer bank. Dirinci waktu transfer:
-Agustus Rp 22,5 juta transfer melalui BCA
-September Rp 15 juta transfer melalui BCA
-Oktober Rp 15 juta transfer melalui BCA
-November Rp 10 juta transfer melalui BCA
-Desember Rp 10 juta transfer melalui BCA
Dewas KPK bertindak. M diperiksa. M mengaku, sering komunikasi dengan Bunga. Alasan M, karena ia dengan istri sedang bermasalah. Pernikahan mereka bermasalah. Tapi M membantah terima suap Rp 72,5 juta. Ia mengaku, pernah utang ke Bunga Rp 700 ribu, katanya sudah dibayar.
Sejak itu Dewas KPK menyelidiki semua hal terkait Rutan. Kemudian ditemukan pungli total Rp 4 miliar. Kini masih diproses KPK.
Sedangkan, perselingkuhan M dengan Bunga, M sudah disanksi pelanggaran etik sedang. Sanksinya, wajib minta maaf secara terbuka. Belum dilakukan M.
M selaku petugas registrasi Rutan, punya wewenang. Lalu berlagak. Ia menyalahgunakan wewenang. Bisa korupsi uang, seks, atau hal lain.
Menko Polhukam, Mahfud MD menyatakan prihatin atas pungli di Rutan KPK, Rp 4 miliar itu.
Mahfud kepada wartawan, seusai menghadiri acara Bhayangkara Fun Walk di Monas, Jakarta Pusat, Minggu (25/6) mengatakan: "Ya, harus ditangani. Karena itu lembaga-lembaga, kan sekarang sudah ditangani kan, sudah diselidiki dan siap diambil tindakan hukum. Ini ironi. Tidak hanya di KPK, di pengadilan juga.”
Ironi, pencegah-pemberantas korupsi, malah korupsi.
Gresham M. Sykes dan David Matza dalam buku mereka berjudul “Techniques of Neutralization: A Theory of Delinquency” (2018) membahas pelanggaran pidana oleh penjaga dan karyawan penjara. Karya itu kemudian dikenal sebagai Neutralization Technique Theory. Jadi rujukan dalam kriminologi di Amerika Serikat (AS).
Di teori itu Sykes dan Matza mengurai, bagaimana pelaku merasionalisasi, atau menetralisir, atau membenarkan, tindakan mereka. Ada lima teknik netralisasi, dari perspektif pelaku. Yakni:
1) Denial of responsibility. Penolakan tanggung jawab. Pelaku menganggap dirinya sebagai korban dari kondisi, atau keadaan sosial, yang tidak menguntungkan.
Pelaku merasa, bukan ia yang bertanggung jawab, tetapi orang lain bertanggung jawab atas tindakan pelaku yang korup.
2) Denial of injury. Pelaku meremehkan atau mengecilkan tindakannya sendiri. Tidak mengakuinya sebagai tindakan tidak bermoral.
3) Denial of victims. Penolakan korban. Pelaku percaya bahwa korban layak atas kejahatan yang dilakukan pelaku terhadap korban. Misal, karena latar belakang etnis, atau orientasi seksual.
4) Appeal to higher loyalties. Kecaman para penghukum. Pelaku menuduh polisi, atasan, atau kontrol negara lainnya, korup, cacat, egois dan tidak adil. Pelaku: “Kalau mereka bisa, mengapa saya tidak?”
5) Condemnation of condemners. Banding ke loyalitas yang lebih tinggi. Pelaku mengklaim telah bertindak untuk kepentingan orang lain, atau atas dasar perintah atau tekanan teman sebaya, tetapi tidak sesuai dengan keinginannya sendiri. Intinya mencari kambing hitam.
Pelaku M setidaknya cocok dengan teori nomor satu (denial of responsibility) dan tiga (denial of victims).
Terbukti dari pengakuan M, bahwa ia sedang bermasalah dengan istri. Ia merasa jadi korban keadaan rumah tangga. Maka membenarkan tindakannya berselingkuh dengan Bunga. Denial of responsibility.
M juga memandang rendah Bunga, istri tersangka korupsi yang suaminya ditahan KPK. Maka, dianggap layak diperlakukan jahat. Denial of victims.
Penjaga Penjara Pelican Bay, Crescent City, California, AS, Barry Evert, dalam bukunya berjudul "Scars and Bars" (2006) menjelaskan, korupsi atau tindak pidana oleh penjaga dan karyawan penjara, tak terlepas dari narapidana atau penjenguk narapidana, bisa keluarga atau teman napi.
Maksudnya, kesalahan penjaga penjara tidak berdiri sendiri. Melainkan terkait, atau diprovokasi oleh napi atau penjenguk napi. Bahkan, penjaga penjara bisa dimanipulasi oleh napi atau penjenguk napi. Agar korupsi.
Misal, penjenguk menyuap penjaga, untuk menyelundupkan HP, untuk diberikan kepada napi. Bahkan, bisa menyelundupkan narkoba.
Barry Evert penjaga penjara Pelican Bay sejak 1996. Itu penjara paling bermasalah di AS. Napi di dalamnya terkenal brutal. Banyak penjahat pembunuhan dan perampokan.
Evert dalam bukunya menyarankan, sebaiknya korupsi dipadamkan sebelum terjadi. Kuncinya ada di perekrutan pegawai penjara. Karyawan atau penjaga yang baru masuk kerja. Mereka harus dididik secara benar.
Penjaga baru, harus diberi pelajaran bahwa napi dan penjenguk napi sangat suka memanipulasi penjaga penjara. Dengan berbagai teknik. Guna dimanfaatkan napi untuk kepentingan napi. Sekaligus penjaganya korupsi, terima suap.
Evert dalam bukunya, menyebutkan bahwa korupsi ibarat api. Dari percikan, lalu membesar, akhirnya berkobar. Maka, manajemen penjara harus meniadakan percikan. Jangan sampai ada percikan.
Karena, kalau sudah berkobar, sulit dipadamkan. Sudah rusak parah. Karyawan dan penjaga harus disingkirkan semua. Diganti orang baru, yang dididik. Kendati, moral individu karyawan dan penjaga, paling menentukan apakah ia korupsi atau tidak.
Kalau ada karyawan atau penjaga penjara bermoral buruk, harus langsung disingkirkan. Sebelum menjalar kepada yang lain.
Kasus di KPK sudah ditindak Dewas KPK. Tapi pelakunya tidak disingkirkan. Mungkin, karena sulit mencari pengganti.