Pakar: Oktober, Puncak Pandemi Pertama Indonesia
Indonesia melaporkan 6.346 kematian akibat Covid-19. Jumlah tertinggi di antara negara di Asia Tenggara. Jika kematian ditambah dengan pasien suspek, jumlahnya tiga kali lebih tinggi. Jumlah yang belum menunjukkan tren menurun hingga saat ini.
Dilansir dari Aljazeera, risiko penularan di Indonesia, menjadi yang tertinggi di Asia Timur, dengan 17 persen populasi yang dites semuanya positif. Di luar Jakarta, rata-rata positif mencapai 25 persen. Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut wabah tak bisa dikontrol jika rata-rata 5 persen populasi yang diperiksa, positif.
"Virus sudah menyebar di seluruh Indonesia. Yang kami lakukan sekarang pada dasarnya adalah herd immunity,' kata Prijo Sidipratomo, Dekan Fakultas Kedokteran di Universitas Pembangunan Veteran, Jakarta. "Jadi kami harus banyak menggali kubur,' katanya.
Sementara statitstik dari Our World in Data, proyek penelitian nirlaba di Universitas Oxford, menyebut Indonesia kini berada di peringkat 83, dari 87 negara yang disurvei untuk tes per kapitanya. Indonesai mengkonfirmasi 144.945 kasus dari populasi total 250 juta penduduk. Jumlah yang jauh lebih rendah dibanding laporan milik Amerika Serikat, Brazil dan India, atau Filipina dengan jumlah populasi kurang dari separuh penduduk Indonesia.
"Perhatian kami kini adalah bahwa kita belum mencapai puncak pandemi, mungkin puncaknya akan tiba pada Oktober, dan mungkin tak akan selesai di tahun ini," kata Iwan Ariawan, epidemiologis dari Universitas Indonesia. "Saat ini kita tak bisa mengatakan jika penularan wabah telah terkontrol," katanya.
Rendahnya Contact Tracing
Contact tracing atau pelacakan kontak terdekat menajdi kunci utama memutus mata rantai penularan Covid-19, menurut panduan Kementerian Kesehatan RI.
Namun, data Reuters yang bersumber dari 12 pekerja kesehatan di seluruh Indonesia menyatakan upaya kontak tracing dilakukan dengan buruk dan tak efektiv.
Rahmat Januar Nor, petugas kesehatan di Kota Banjarmasin, mengatakan jika informasi kasus yang positif tiba di kantornya dengan berbagai kekeliruan, seperti nama yang tak lengkap, nomor telepon yang tak aktif, alamat yang kadaluarsa dan masalah kontak mereka. Masalah ini banyak dialami banyak tenaga kesehatan di seluruh Indonesia. "Kami meminta bantuan kepala desa,' kata Nor pada Reuters. "Tapi sebagian tetap tak bisa ditemukan,' katanya.
Namun, ketika petugas menemukan kontak pasien positif, banyak di antaranya menolak untuk dites lantaran takut kehilangan pekerjaan, atau dikucilkan oleh masyarakat.
Berdasar data yang tak diterbitkan oleh Satgas Penanganan Covid-19 Pemerintah, menunjukkan terdapat 53,7 persen pasien positif Covid-19 adalah hasil tracing kontak per 6 Juni 2020.
Juru Bicara Pemerintah Wiku Adisasmito tidak menyediakan data terbaru tentang tracing kontak tetapi mengakui jika data tersebut tetap rendah dan kini pemerintah sedang berupaya melacak hingga 30 orang di setiap satu kasus positif.
Jumlah ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Korea Selatan pada Mei telah melakukan kontak dan memeriksa sedikitnya 8 ribu penduduk, setelah satu laki-laki yang positif mengunjungi sebuah kelab malam.
Menurut sumber yang dekat dengan masalah itu, WHO menyarankan agar Indonesia melakukan kontak sedikitnya 20 orang per kasus yang terkonformasi, serta kasus suspek. Namun, yang terjadi pelacakan kontak rata-rata hanya dilakukan pada dua kontak per kasus, menurut data dari petugas provinsi yang didapat Reuters.
Di Jakarta, wabah muncul pertama kali, data yang ada menyebut kontak lebih rendah dibanding rata-rata dua orang, pada Juli.
Sedangkan di Jawa Timur, rata-rata kontak tracing mencapai 2,8 orang per kasus dan pasien suspek, menurut penelitian dari Universitas Airlangga. (Alj/Rtr)
Advertisement