KSPI Klaim 5 Juta Buruk Mogok Kerja Tolak RUU Cipta Kerja
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sepakat untuk melakukan mogok kerja nasional, pada 6-8 Oktober 2020. Aksi ini akan diikuti kurang lebih 5 juta buruh di ribuan perusahaan di 25 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Buruh yang mogok kerja itu menempati beberapa sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen hingga pariwisata.
Aksi mogok nasional ini merupakan respons penolakan atas pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang dilakukan DPR dan pemerintah hingga saat ini.
Presiden KSPI Said Iqbal menegaskan, rencana aksi demonstrasi buruh pada awal Agustus 2020 bukan sekadar gertakan kepada pemerintah. "Bagi KSPI, aksi selama ini yang kita lakukan (membuktikan) bukan aksi gertak sambal," kata Said, Senin 5 Oktober 2020. Namun ada beberapa organisasi buruh yang menolak ikut berunjuk rasa.
Koalisi Aksi Menyelamakan Indonesia (KAMI) mendukung rencana serikat pekerja yang akan menggelar aksi unjuk rasa nasional menolak rencana disahkannya RUU Cipta Kerja. Presidium KAMI Gatot Nurmantyo menyatakan, sejak awal pihaknya telah menolak pembahasan RUU Cipta Kerja dalam bentuk omnibus law.
"Penolakan KAMI tersebut didasari pada keyakinan bahwa bila RUU dimaksud menjadi UU, maka akan semakin menghilangkan kedaulatan bangsa, meningkatkan kesenjangan sosial, merusak lingkungan dan juga memiskinkan dan menghilangkan posisi tawar kaum buruh," kata Gatot Nurmantyo dalam keterangan tertulis yang diterima ngopibareng.id.
Gatot Nurmantyo mengatakan, keberadaan RUU tersebut telah melanggar Pasal 27 ayat (2), Pasal 33 dan Pasal 23 UUD 1945. RUU itu dianggap tidak pro pada pekerja nasional dan lebih mementingkan kepentingan buruh asing.
"Pekerja asing tidak ada batasannya dan disamakan dengan bangsa sendiri. (Di samping juga) tidak ada kepastian lapangan kerja, upah, jaminan sosial dan sebagainya," ujarnya.
Selain itu, Gatot Nurmantyo menambahkan, kurangnya partisipasi buruh dan serikat pekerja di dalam proses pembahasan, sehingga keberadaan kelompok tersebut hanya sekedar sosialisasi dan digunakan sebagai cap legitimasi.
"Jika RUU ini disahkan, sesuai hasil kajian KOMNAS HAM dibutuhkan 516 peraturan pelaksana, yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan negara akan mengalami kekacauan tatanan dan ketidakpastian hukum," sambungnya.