Puluhan Murid dan Walimurid Gruduk DPRD Jatim Protes Zonasi PPDB
Puluhan orang yang terdiri dari para siswa-siswi SMP, walimurid, dan keluarga hari ini, Rabu 19 Juni 2019 mendatangi DPRD Provinsi Jawa Timur untuk melakukan hearing dan audensi terkait kacaunya sistem PPDB SMP 2019.
Mereka datang berbondong-bondong pukul 13.15, dan langsung ditemui oleh Agatha Retnosari, anggota DPRD Jatim Komisi E, Fraksi PDI Perjuangan di ruang audensi lantai 1.
Agatha didampingi oleh beberapa rekan dari PDIP menemui masyarakat yang protes. Ia mengapresiasi perjuangan para walimurid untuk memprotes kebijakan yang mereka nilai merugikan mereka.
"Ini negara demokrasi, ya ini benar. Kalau ada kebijakan yang kurang populis, silahkan diprotes dan dikritisi, namun tetap melalui jalur hukum," ujar Agatha.
Ia memberi kesempatan kepada beberapa siswa-siswi dan walimurid untuk menyampaikan pendapat mereka terkait sistem zonasi di PPDB SMP 2019.
"Kami ke sini mau minta tolong sama legislator terkait sistem zonasi PPDB SMP tahun ini yang kacau balau. meskipun nilai UN tinggi, belum menjamin masuk ke SMP dekat rumah," ujar Ririn, salah satu orang tua murid.
Selain Ririn, salah seorang walimurid bernama Lilik menyampaikan protesnya dengan sedikit terisak. Ia mengatakan dirinya sudah tak kerja dan sekarang menyandang status single parent.
"Suami saya sudah meninggal, saya juga tidak bekerja. Anak saya 4 orang, yang 2 terakhir masih mengenyam pendidikan. Nomor 3 sekolah di SMA 15 naik kelas 2, disuruh bayar 700 ribu untuk seragam, buku, dan bet sekolah. Masa sekarang yang bungsu juga harus sekolah di swasta, kan mahal, lha gimana ndak diterima (di sekolah) negeri," ujar Lilik.
Bahkan Lilik sempat berceletuk, mungkin anaknya tak akan sekolah apabila sistem masih seperti ini. Ia mengatakan bahwa dirinya tak masalah apabila anaknya harus masuk SMA swasta jika uang pangkal di sekolah swasta tersebut ditanggung oleh Pemerintah Jawa Timur dan Surabaya.
"Kalau SPP bulanan bisa dicari, yang tidak ada itu kan uang pangkalnya, kalau Ibu Khofifah Indar Parawansa mau menggratiskan sekolah swasta, saya akan daftarkan anak saya,"kata Lilik.
Hal yang dikatakan oleh Ririn dan Lilik, diamini oleh siswa bernama redzmananda aresdo sinaga yang berasal dari SMPN 35 Surabaya dan Beatrice Kristina dari SMPN 12 Surabaya.
Bagi mereka, sistem zonasi pada PPDB SMP dan SMA tahun ini membuat mereka dan para siswa-siswi yang mau masuk ke sekolah berkualitas tak bisa teralisasi.
"Swasta mahal, bahkan sudah banyak yang tutup. Seperti SMA Muhammadiyah 2 (SMAMDA) Surabaya, sekarang sisa kelas internasional, SPP-nya 1juta-an, uang pangkal sekitar Rp 25 jutaan, ya kami tak mampu," ujar Ares.
Ares menambahkan, mungkin apabila orang tua murid merupakan orang yang berkecukupan, anak-anak mereka akan langsung dimasukan ke SMP/SMA swasta berkualitas yang bisa menjamin pendidikan formal maupun non formal bagi siswa-siswinya.
Sedangkan bagi orang tua yang tidak mampu, akan bingung apabila anaknya tak bisa masuk ke SMA negeri. Karena, SMP/SMA swasta termurah pun, harus membayarkan uang pangkal yang tak sedikit besarannya.
"Kalau tadi Ares bilang SMAMDA mahal, sekolah kristen katolik yang terjangkau seperti Santa Maria, St. Louis juga sudah tutup pendaftarannya. Yang buka itu pun sekolah internasional, tapi uang pangkalnya sekitar Rp 40 juta , SPP 2 juta, mahal sekali. Apalagi teman-teman yang mau masuk SMK juga sudah tidak bisa karena kan sistemnya hanya memperbolehkan memilih 1, milih SMA ya masuk SMA, kalau SMK ya SMK," ujar Beatrice.
Sebelum mengakhiri audensi dengan anggota DPRD Jatim, para wali murid memberikan naskah akadmik yang merupakan bentuk protes secara resmi. Dalam naskah akademik tersebut tercantum poin-poin dan penjelasan terkait protes yang mereka lakukan pada hari ini.
Berikut isi poin-poin tuntutan para walimurid tersebut yang dirangkum oleh ngopibareng.id:
1. Penghentian sementara sistem PPDB zonasi
2. Tingkatkan kuota penerimaan siswa dari ujian nasional, kurangi dari zonasi
3. Buat uji coba terlebih dahulu terkait sistem zonasi di beberapa wilayah saja agar bisa dievaluasi dan ada indikatornya. Baik indikator baik maupun buruk.
4. Indonesia adalah negara demokrasi, kita wajib dan harus kritisi apabila sistem kurang baik dan merugikan banyak pihak. Namun harus melibatkan semua pilar pendidikan agar bisa merubah sistem tersebut.
Naskah akademik tersebut diterima langsung oleh Agatha, namun ia tak bisa menjamin sistem tersebut bisa langsung diganti ataupun dibatalkan. Ia mengingatkan kepada para walimurid bahwa sistem tersebut yang membuat adalah lembaga Eksekutif, sehingga yang bisa melakukan deskresi aturan adalah lembaga eksekutif pula.
"Tuntutan ini saya terima, namun saat ini saya tak bisa langsung memberikan keputusan, karena ini produk hukum Menteri Pendidikan, jadi yang bisa membatalkan, menunda, atau melakukan sesuatu ya pak Menteri atau pemerintah pusat. Namun, naskah ini akan tetap saya berikan kepada Bu Khofifah dan Kepala Dinas Pendidikan Jatim agar bisa dievaluasi sistem zonasi ini. Untuk pak Menteri, nanti saya akan melalui jalur lobby-ing dengan beliau," pungkas Agatha.
Advertisement