Pulang dari Pengasingan, Mantan Presiden Georgia Ditangkap
Georgia telah menangkap mantan Presiden Mikheil Saakashvili begitu dia kembali pulang, setelah delapan tahun bersembunyi di Ukraina. Saakashvili pulang dengan tujuan untuk memobilisasi pendukungnya menjelang pemilihan wali kota Tbilisi , ibu kota Georgia yang dianggap penting bagi susunan politik negara itu.
Dia meminta para pendukungnya untuk memilih Gerakan Nasional Bersatu atau partai kecil mana pun yang menentang partai Georgian Dream yang memerintah. Karena pemilihan wali kota ini dipandang sangat penting. Meskipun hanya pemilihan wali kota, tetapi dianggap sebagai referendum. Jika pemerintah gagal mendapatkan dukungan yang cukup, maka pemerintah bisa dipaksa untuk mempercepat pemilihan presiden.
Jumat malam, Mikheil Saakashvili, 53 tahun, dengan wajah tersenyum digiring polisi ke lembaga pemasyarakatan Rustavi. “Saya ingin memberi tahu publik bahwa presiden ketiga Georgia, Mikheil Saakashvili, ditangkap. Dia dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan,” kata Perdana Menteri Irakli Garibashvili.
Pengumuman itu muncul sekitar 18 jam setelah Saakashvili, yang dihukum secara in absentia dan telah tinggal di Ukraina dalam beberapa tahun terakhir, memposting di Facebook bahwa dia telah kembali ke Georgia. Pejabat Georgia pada hari sebelumnya telah membantah dia berada di Georgia.
Dalam unggahannya, Saakashvili menyebut pemilihan wali kota Tbilisi hari Minggu sangat penting bagi masa depan Georgia, dan menyerukan unjuk rasa di Ibu Kota Tbilisi pada hari Minggu besok. Dia berjanji untuk bergabung dalam aksi itu.
“Semua orang harus pergi ke tempat pemungutan suara dan memilih, dan pada 3 Oktober kita harus mengisi Lapangan Kebebasan. Jika ada 100.000 orang, tidak ada yang bisa mengalahkan kita,” katanya dalam video. “Anda lihat, saya mempertaruhkan segalanya. Hidup saya, kebebasan, segalanya, untuk datang ke sini. Saya hanya ingin satu hal dari Anda, pergi ke tempat pemungutan suara,” katanya, seperti dikutip Al Jazeera.
Para kritikus menuduh partai Georgian Dream yang berkuasa menggunakan tuntutan pidana untuk menghukum lawan politik dan jurnalis. Interpol menolak permintaan dari Tbilisi untuk mengeluarkan red notice terhadap Saakashvili. (*)