Pujian Saat Maulid Sama seperti Natalan? Ini Penjelasan Ulama
Dalam sejarah sejak masa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (SAW), para Sahabat Nabi sudah banyak yang bersyair di hadapan Rasulullah, bahkan Nabi menunjukkan rasa bahagia.
Di antaranya adalah syair yang dikumandangkan oleh Sawad bin Qarib yang diriwayatkan oleh ulama ahli hadis, tafsir dan sejarah, yaitu Al-Hafidz Ibnu Katsir:
ﺛﻢ ﺃﺗﻴﺖ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﺈﺫا ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻓﺪﻧﻮﺕ ﻓﻘﻠﺖ: اﺳﻤﻊ ﻣﻘﺎﻟﺘﻲ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ. ﻗﺎﻝ ﻫﺎﺕ ﻓﺄﻧﺸﺄﺕ ﺃﻗﻮﻝ:
Lalu aku datang ke Madinah, ternyata Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersama para Sahabatnya. Aku mendekat dan berkata: "Dengarkan syairku, wahai Rasulullah". Nabi bersabda: "Silakan". Aku bersyair:
ﻓﺄﺷﻬﺪ ﺃﻥ اﻟﻠﻪ ﻻ ﺷﺊ ﻏﻴﺮﻩ • ﻭﺃﻧﻚ ﻣﺄﻣﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻏﺎﻟﺐ
Aku bersaksi bahwa sungguh Allah, tiada apapun selain Dia. Sungguh engkau dapat dipercaya di atas semua pemenang (riwayat lain غائب)
ﻭﺃﻧﻚ ﺃﺩﻧﻰ اﻟﻤﺮﺳﻠﻴﻦ ﻭﺳﻴﻠﺔ • ﺇﻟﻰ اﻟﻠﻪ ﻳﺎ اﺑﻦ اﻷﻛﺮﻣﻴﻦ اﻷﻃﺎﻳﺐ
Sungguh engkau adalah PERANTARA terdekat kepada Allah di antara para Nabi, wahai putra orang-orang mulia
ﻭﻛﻦ ﻟﻲ ﺷﻔﻴﻌﺎ ﻳﻮﻡ ﻻ ﺫﻭ ﺷﻔﺎﻋﺔ • ﺳﻮاﻙ ﺑﻤﻐﻦ ﻋﻦ ﺳﻮاﺩ ﺑﻦ ﻗﺎﺭﺏ
Jadilah engkau pemberi syafaat kepadaku di hari tidak ada pertolongan, selainmu, yang diperlukan untuk Sawad bin Qarib
ﻗﺎﻝ ﻓﻔﺮﺡ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺑﻤﻘﺎﻟﺘﻲ ﻓﺮﺣﺎ ﺷﺪﻳﺪا، ﺣﺘﻰ ﺭﺋﻲ اﻟﻔﺮﺡ ﻓﻲ ﻭﺟﻮﻫﻬﻢ.
Lalu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya senang dengan syairku, hingga kebahagiaan terlihat di wajah mereka (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2/408)
Itu 'kan dhaif? Sejak kapan para ulama Salaf menolak kedaifan riwayat dalam soal sejarah dan pujian-pujian untuk Nabi? Buka saja kitab-kitab sejarah akan banyak ditemukan penyair-penyair dari Sahabat yang mengandung pujian untuk Nabi.
Penolakan Mereka Hakikatnya Bukan Faktor Dalil dan Ulama Salaf
Mereka berkilah "Maulid ini tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad, tidak ada di masa Sahabat dan Tabiin".
Saya tegaskan ini hanya sebuah cara bagi mereka yang tidak senang dengan Amaliah Aswaja. Apa buktinya? Buktinya Nisfu syaban diamalkan di generasi Salaf, yakni Tabiin dan mereka tidak mau mengamalkan. Jadi andaikan di masa Tabiin ada Maulid Nabi dan mereka tidak sependapat tentu tidak akan diterima.
Pada masa Sayidina Umar Tarawih 20 rakaat, di masa Sayidina Utsman azan Jumat 2x, para sahabat banyak yang ngaji di kuburan:
وَذَكَرَ الْخَلَّالُ عَنِ الشُّعْبِي قَالَ كَانَتِ الْأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ المَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ
Al-Khallal menyebutkan dari Syu’bi bahwa jika ada diantara sahabat Ansor yang wafat, maka mereka bergantian ke makamnya, membaca Al-Quran di dekatnya” (Ibnu Qayyim, ar-Ruh 1/11)
Karena mereka tidak cocok dengan Mazhabnya maka kesemuanya ditolak meskipun sudah ada sejak zaman Sahabat. Andaikata Maulid ada yang melakukan dari Sahabat tetap akan ditolak.
Bagaimana dengan Nabi? Sama tetap akan ditolak. Nabi pernah mengajarkan Tawassul, hadisnya Sahih tak terbantahkan. Tapi mereka tidak melakukannya dengan berbagai cara dalam menolaknya. Sekali lagi karena tidak sesuai dengan Mazhab mereka.
Intinya mereka ikut Syekh dan ustaz mereka, bukan ikut ulama Salaf.
"Saya terkejut ketika Lora M Nashih Abdullah menyuruh hadir ke acara alumni Salafiyah Bangil, yang ternyata dihadiri para keluarga pendiri Pondok. Alhamdulillah meskipun waktu terbatas tapi bisa menjelaskan banyak dalil Amaliah dari masing-masing contoh di atas."
Demikian penjelasan Kiai Ma'ruf Khozin, yang juga Ketua Ahlussunnah Waljamaah Center Nahdlatul Ulama (Aswaja Center NU) Jawa Timur. Semoga bermanfaat.