Puasanya Ibu Hamil dan Menyusui
“SAYA masih belum faham tentang hukum berbuka (tidak puasa-pen) untuk wanita hamil dan menyusui. Apakah rukhshah/keringanan ini untuk semua wanita hamil dan menyusui, ataukah hanya bagi mereka yang benar-benar tidak kuat berpuasa saja? Lalu bagaimana hukumnya bagi ibu hamil yang sebenarnya kuat berpuasa tapi tidak berpuasa, apakah ia berdosa?”
Demikian permasalahan yang kerap muncul di kalangan kaum ibu ketika memasuki Ramadhan.
KH Ahmad Asyhar Shofwan, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur, memberikan sejumlah jawaban.
”Bila memang ada kekhawatiran terganggu kesehatannya secara seris, maka ia boleh tidak berpuasa dan wajib meng-qadha’-nya (membayar, red) di hari lain, tanpa membayar kaffarah bila kekhawatirannya terkait denan dirinya, dengan dengan membayar kaffarah bila terkait dengan kandungan atau bayinya,” jawab Pengasuh Pesantren Al-Fatich Tambaklangon Surabaya.
Dalam kitab Fathul Qarib Hamisy al-Bajuri, jilid I, halaman 300 -301, disebutkan. “Ibu hamil dan menyusui, jika mengkhawatirkan kesehatan dirinya karena berpuasa, sebagaimana deirta orang yang sakit, maka mereka boleh tidak puasa dan wajib qadha’.
“Bila kekhawatiran itu terkait anaknya, seperti kegugugran bagi ibu hamil dan berkurangnya air susu bagi ibu menyusui, maka mereka boleh tidak puasa, wajib qadha’ dan membayar kaffarah, yaitu membayar satu mud untuk setiap hari hutang puasanya”.
Kiai Asyhar mengingatkan, hukum asal puasa di bulan Ramadhan adalah wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah yang sudah baligh, berakal, tidak sedang dalam perjalanan (musafir) atau sakit, dan (khususnya Muslimah) suci dari haid dan nifas. Para ulama telah bersepakat dalam wajibnya puasa di bulan Ramadhan ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Kewajiban ini pun juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui yang tidak memiliki udzur untuk meninggalkan puasa.
Wanita yang dalam keadaan haid dan nifas, telah jelas hukumnya, yaitu ia tidak boleh berpuasa dan wajib meng-qadha atau mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya. Sedangkan wanita atau orang yang dalam keadaan safar dan atau sakit, diberikan keringanan untuk berbuka dan wajib menggantinya di hari lain sebanyak hari yang ditinggalkan.
Sedangkan bagi wanita hamil atau menyusui yang dalam keadaan sehat, tidak lemah, tidak sakit-sakitan, atau tidak memiliki kekhawatiran terhadap janin / anaknya dan dirinya sendiri, maka ia tetap wajib berpuasa dan bila meninggalkannya berarti ia berdosa. (adi)