Puasa untuk Tidak Berkuasa
Oleh: Fathorrahman Fadli
Andai saja kata "kutiba" tidak disematkan Allah dalam perintah menjalankan puasa, mungkin umat Islam tidak mau puasa menahan lapar dan haus. Buat apa berlapar-lapar jika ayatnya misalnya kita ganti dengan disunnahkan, atau dimubahkan bagi kamu sekalian. Maka jelas Umat Islam akan malas berpuasa. Apalagi ada tekanan lanjutan dari perintah puasa itu, yakni "dan juga diwajibkan kepada umat sebelum kamu". Lalu ending dari perintah itu adalah "laallakum tattaquun" agar kamu sekalian bertakwa.
Jadi perintah menjalankan puasa itu betul-betul kuat yaitu bersifat wajib dan diwajibkan, bukan saja kepada Umat Nabi Muhammad Saw, namun juga pada umat sebelumnya. Puasa sudah menjadi cara manusia merespon kehidupan sebagai bagian dari bentuk peradaban kemanusiaan yang dilakukan berdasar petunjuk Allah Swt.
Sedemikian pentingnya puasa itu, maka penting juga kiranya berkah dan manfaat puasa itu kita terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, para pejabat mulai presiden, menteri, gubernur, bupati, camat hingga lurah sebaiknya berpuasa dari kebohongan, praktik korupsi, manipulasi, maksiat, dan perbuatan buruk lainnya.
Puasa Menegakkan Pancasila
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, manfaat berpuasa itu sangat penting dalam meningkatkan kualitas mental spiritual para penyelenggara negara. Puasa mendorong para penyelenggara negara mampu menata pikirannya dan membasahi mata batinnya. Misalnya untuk apa mereka menjadi pejabat publik jika kehadirannya dalam masyarakat bangsa tidak memberikan manfaat.
Untuk apa mereka menjadi pejabat jika kehadirannya hanya melahirkan masalah bangsa. Untuk apa mereka menjadi pejabat negara jika segala tindak tanduknya itu tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Untuk apa menjadi pejabat jika dia harus berakhir dibalik jeruji besi penjara dan memalukan keluarga serta kerabatnya karena terlibat korupsi?
Untuk apa menjadi pejabat negara jika hidupnya hanya menyiksa para ulama, aktivis sosial politik, penggerak demokrasi, dan pekerjaan luhur lainnya. Untuk apa menjadi pejabat negara yang setiap hari selalu berkelit membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain? Untuk apa menghidupi diri sendiri dan keluarganya dari uang rakyat tapi pada saat yang sama menghianati amanah rakyat?
Mari kita renungkan bersama, betapa suatu bangsa akan ambruk jika kekuasaan itu tidak lagi memperhatikan nilai-nilai kepantasan yang hidup dan aspiratif dalam masyarakat yang secara ideologis Pancasilais. Dalam sejarah perjalanan politik bangsa Indonesia, Bung Karno tumbang karena ia membela komunis melalui Nasakomnya. Bung Karno dibela dan dicinta, namun di saat dia bertindak diluar batas kepantasan publik, Tokoh Proklamator yang terkenal sangat jantan dan penyuka wanita cantik itu akhirnya tumbang juga.
Sukarno dianggap telah bekerja di luar kepantasan nilai-nilai Pancasila yang sakti itu. Bagaimana mungkin Nasakom bisa menyatukan nasionalisme yang profan, komunisme yang anti Tuhan, berpadu dengan agama yang nilai-nilainya transendental. Itulah kecerobohan Sukarno yang dalam pandangan Profesor Salim Said sebagai kekeliruan terbesar Sukarno dalam sejarah politik Indonesia modern. Sukarno yang ambisius menyatukan Agama, Nasionalisme dan Komunisme akhirnya tumbang atas tekanan rakyat yang dahulu mencintainya secara berlebihan.
Mari kita lihat Soeharto. Suharto berkuasa selama 32 tahun. Pada awalnya Soeharto dinilai mahasiswa pendukung orde baru sebagai sosok negarawan yang berani memberantas PKI dan membela rakyatnya. Lalu mengapa Soeharto kemudian tumbang atas desakan mahasiswa? Jawaban atas pertanyaan itu tentu saja sangat beragam saking banyaknya. Namun salah satu jawaban yang mungkin bisa ditambahkan adalah karena Soeharto berhenti berpuasa.
Berpuasa dari keinginan untuk terus berkuasa, sehingga sikap otoriter yang berlebihan itu kemudian melahirkan kekuatan laten rakyat yang menggunung menjadi gerakan moral mahasiswa yang muak atas realitas sosial politik yang pengap itu. Reformasi kemudian bergulir menjadi gelombang politik yang menumbangkan rezim yang tertua di Asia Tenggara itu.
Saat ini Indonesia sedang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo untuk periode kedua. Tersebar luas dalam masyarakat politik bahwa Jokowi berminat meneruskan untuk berkuasa lagi pada periode ketiga. Ada banyak alasan untuk menyangkal ide ini, baik disampaikan sendiri oleh Presiden maupun para pembantunya. Namun masyarakat politik tidak percaya bahwa Jokowi tidak menginginkan periode ketiga.
Ketidakpercayaan ini semakin ditanggapi serius dikalangan politisi karena mereka mencium langkah-langkah catur politik istana yang sistematis. Jika langkah-langkah ini diteruskan, maka bisa jadi Jokowi justru akan tumbang ditengah jalan. Oleh karena itu sebaiknya Jokowi mulai memikirkan kembali untuk sejenak berpuasa untuk terus berkuasa.
Ada banyak keuntungan jika Jokowi menikmati makna dan hikmah berpuasa dihari pertama puasa ini. Berpuasa untuk tidak berkuasa lagi adalah tirakat kemanusiaan yang luhur. Keuntungan pertama, jika Jokowi mencukupkan dirinya berkuasa selama dua periode hingga 2024, maka beliau akan dikenang sebagai orang yang paling banyak membangun infrastruktur jalan tol dan bendungan di seluruh tanah air. Walaupun untuk melintas jalan tol iti kita harus menguras uang rakyat entah sampai kapan. Disini Jokowi akan dinilai sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia.
Keuntungan kedua, Jokowi akan lebih fokus pada program-program yang dijanjikan yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing dengan negara-negara lain di Asia. Jika program tersebut dilakukan secara serius sehingga terjadi pusat-pusat sumber daya di seluruh negeri. Dengan demikian maka SDM Indonesia akan mampu bersaing dengan negara lain.
Tentu saja keinginan tersebut sangat positif bagi usaha membangun kembali keakraban publik sesama anak bangsa.
Ketiga, manfaat berpuasa untuk tidak berkuasa lagi di periode ketiga yakni Jokowi akan dinilai sebagai presiden yang mentaati konstitusi bangsanya. Meskipun untuk berpuasa agar tidak berkuasa lagi itu akan menghadapi tantangan dan penentangan dari kelompok-kelompok oligarki yang kini bekerja merecoki dan menikmati kekuasaan Jokowi, namun semua itu harus ditaklukkan oleh misi besar pembatasan kekuasaan politik dalam konstitusi negara.
Keempat adalah manfaat berpuasa dari keinginan untuk berkuasa ketiga kalinya adalah; Jokowi akan selamat dari jebakan para oligarki yang bergerak seperti rayap yang ganas. Jokowi pada 2024 akan turun secara elegan karena menaati prinsip pembatasan kekuasaan dalam konstitusi, dan bukan jatuh karena diserang oleh rayap-rayap oligarki yang memiliki agenda-agenda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan melawan konstitusi negara.
Kelima, manfaat berpuasa untuk tidak berkuasa periode ketiga adalah penting karena jika seseorang berkuasa selama lebih dari 10 tahun maka secara mekanistik orang-orang yang ada disekitar kekuasaan itu akan menjadikan bosnya sebagai berhala, bukan lagi manusia. Ini perkara ambang batas psikologis politik, bukan karena kita tidak suka pada penguasa itu. Lihatlah Soekarno, lihatlah Soeharto, lihat pula pemimpin-pemimpin dunia yang lain. Mereka terus berusaha untuk berkuasa, namun akhirnya jatuh juga karena faktor-faktor teknis kekuasaan yang membuat mereka terpaksa harus bertahan.
Dengan melihat faktor-faktor di atas, penting kiranya bagi Presiden Jokowi untuk kembali nemikirkan pentingnya berpuasa untuk tidak kembali berkuasa. Manakala pikiran tersebut di atas menjadi bahan pertimbangan, tentulah kita sebagai bangsa akan tenang, juga Jokowi akan berakhir dengan tenang terutama dalam menuntaskan agenda-agenda pembangunan nasional kita tanpa harus mengikuti nafsu rendah para oligarki yang merusak bangsa dan negara.
Fathorrahman Fadli
Direktur Eksekutif Indonesia Development Research/IDR, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang.
Advertisement