Puasa Tarwiyah 8 Dzulhijah, Keutamaan dan Asal-Usulnya
Dalam konteks ibadah haji, Tarwiyah adalah suatu prosesi ibadah haji yang dilakukan oleh Nabi saw pada tanggal 8 Zulhijah di saat itu salah satu yang dilakukan adalah mengumpulkan perbekalan utamanya air.
Di kalangan pesantren dan umat Islam secara luas, pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa. Itulah Puasa Tarwiyah dan dilanjutkan dengan Puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah. Dua puasa sunnah menjelang Idul Adha inilah yang sangat ditekankan untuk dilaksanakan.
Tarwiyah dilakukan calon haji dengan cara meninggalkan Mekkah menuju Mina pada pagi hari tanggal 8 Zulhijah (miqat zamani) dengan berpakaian ihram dan berniat untuk menunaikan ibadah haji.
Di Mina mereka menunaikan salat Dzuhur, Asar, Magrib, Isya hingga salat subuh tanggal 9 Zulhijah. Tarwiyah termasuk bagian dari kesunahan yang ditunaikan, didasarkan hadis-hadis Nabi SAW, salah satunya: “…ketika hari tarwiyah tiba, para Sahabat pergi menuju Mina dan mereka melakukan ihram untuk haji, dan (saat itu) Rasulullah mengenderai kenderaannya. Di Mina, Rasulullah SAW menunaikan salat Dzuhur, Asar, Magrib Isya dan Subuh. Nabi berada di Mina hingga matahari terbit …” (HR. Abu Dawud).
Oleh karena itu jamaah haji diseyogyakan untuk melaksanakan ibadah Tarwiyah dalam rangkaian pelaksanaan manasik haji. Namun hal itu dilakukan sejauh dimungkinkan untuk melaksanakannya dan dengan ketentuan: 1) tidak menimbulkan bahaya (mudarat) kepada diri mereka; dan 2) tidak mengurangi pemaksimalan ibadah haji secara keseluruhan. Hal ini didasarkan kepada hadis dan kaidah fikih: “Dari Ibn Ibn ‘Abbas (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Tidak ada perbuatan mudarat dan memudaratkan.” (HR. Ahmad).
Aplikasi ketentuan ini dikembalikan kepada para jemaah haji serta para pembimbing dan pengelola haji yang mengalaminya langsung di lapangan. Manakala situasi memungkinkan mereka untuk menunaikan tarwiyah maka itu yang terbaik, namun jika situasi menunjukkan sebaliknya maka pelaksanaan tarwiyah tidak perlu dipaksakan.