Puasa Syawal, Keputusan Tarjih Muhammadiyah: Pengendali Diri Tinggalkan Keburukan
"Selain memiliki beberapa keutamaan seperti menghapus dosa, menjadi perisai dari api neraka, dan malaikat berdoa kepada orang yang berpuasa," kata Asep Sholahudin.
Asep Sholahudin, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyampaikan bahasan mengenai hukum dan tata cara melakukan puasa Syawal berdasarkan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Fatwa yang dimaksud adalah Keputusan Munas Tarjih ke-26 di Padang tahun 2003 j.o. Keputusan Muktamar Tarjih XXI di Klaten tahun 1980 tentang Puasa Tathawu’ yang tertulis, “Apabila anda telah selesai berpuasa Ramadhan, maka berpuasalah enam hari dalam bulan Syawal (lakukan sesudah Hari Raya Idul Fitri), anda lakukan secara berturut-turut atau berpisah-pisah.”
Menurut Asep, selain memiliki beberapa keutamaan seperti menghapus dosa, menjadi perisai dari api neraka, dan malaikat berdoa kepada orang yang berpuasa, puasa syawal juga memiliki fungsi lain seperti pengendalian diri untuk meninggalkan keburukan dan menjaga diri untuk berbuat baik.
“Yang lebih penting adalah menerapkan nilai-nilai berpuasa dalam kehidupan. Satu shiyamu jawarih, puasa anggota badan. Orang yang berpuasa tidak berkata kotor, juga tidak suka gaduh. Tidak berbuat yang membikin orang lain tidak senang. Juga meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat,” terangnya.
Forum tersebut, meneruskan pengajian Tarjih Muhammadiyah edisi ke VI yang digelar pada Rabu (4/7) bertempat di Serambi Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta.
Pada bagian lain diingatkan, mengenai tata cara puasa sunnah Syawal, Asep menerangkan bahwa Tarjih membolehkan dilakukan berurutan langsung enam hari atau acak.
“Ini yang sering menjadi diskusi di Pimpinan Wilayah maupun Daerah. Apakah dilakukan secara berurutan atau yang penting enam hari. Puasa Syawal bisa dilakukan tidak harus berurutan. Yang penting antara tanggal 2 sampai 30 Syawal. Kedua cara ini menurut Imam Nawawi boleh,” pungkasnya. (adi)