Puasa Kusnadi
Ini cerita tentang politisi. Tentang keberagamaannya. Bukan tentang konflik, intrik, maupun perebutan kuasa. Tentang caranya menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya.
Politisi itu bernama Kusnadi. Biasa dipanggil Pak Kusnadi. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur. Yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan. Politisi kelahiran Tebing Tinggi, Sumatra Utara, 63 tahun lalu.
Pria dengan tiga orang anak dan tinggal di Sidoarjo ini pernah menjabat sebagai Sekretaris DPD PDI Perjuangan Jatim. Baru tahun 2015, ia menjadi nakhoda untuk partai berlambang banteng moncong putih di provinsi pusat Kerajaan Majapahit di jaman dulu.
Masa kecil dan mudanya, Pak Kusnadi sekolah SD sampai SMA di Sumatra Utara. Lalu kuliah di Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya. Ia sempat mengambil program paska sarjana di Universitas Gajah Mada Yogyakarta sambil mengajar di almamaternya saat S1.
Lho kok tentang keberagamaannya? Ya. Selama ini, PDI Perjuangan dikenal sebagai partainya orang abangan. Ini klasifikasi sosial yang diberikan antropolog Clifford Geertz. Indonesianis asal Australia ini menyebut abangan untuk muslim yang tak menjalankan syariat Islam.
Cerita ini bermula ketika saya berkunjung ke kantor Pak Kusnadi, pekan lalu. Di sela-sela Rapat Paripurna DPRD dengan agenda pandangan umum tentang RAPBD Perubahan. Yang juga dihadiri Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Saya datang pada saat waktu Ashar tiba. Semula saya berpikir menunggu selesainya paripurna. Tapi stafnya mempersilahkan masuk ruang kerjanya yang penuh dengan foto dan lukisan Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Ketika masuk ruangan, saya tidak langsung melihat yang bersangkutan. Saya berpikir dia masih di ruang sidang. Eh, begitu menengok ke pojok ruangan, tampak seseorang sedang shalat. Di balik sekat yang secara khusus menjadi tempat shalat pemilik ruangan. Saya kalah soal shalat tepat waktu.
Usai shalat, Pak Kusnadi baru menemuinya. Dia minta stafnya menyuguhkan minuman dan buah-buahan. Setelah ngobrol basa-basi, ia pun mempersilakan saya untuk menikmati suguhannya. "Monggo, saya baru nanti jam 6 kurang," katanya sambil tersenyum.
Rupanya, Pak Kusnadi yang dulunya dosen di Untag Surabaya ini sedang puasa Kamis. Bayangkan, seorang pimpinan partai abangan salat Ashar tepat waktu dan juga sedang puasa sunnah. Puasa di luar puasa wajib di bulan Ramadhan.
"Puasa Senin Kamis ya?," tanya saya kagum. Spontan menanyakan hal itu karena saya sebagai santri merasa kalah dalam hal ibadah wajib dan sunah dengannya.
"Bukan Senin-Kamis. Tapi Senin sampai Kamis," katanya. Berarti dalam setiap minggu ia melakukan puasa sunah empat hari. Luar biasa.
Ia menjelaskan, kebiasannya berpuasa itu sudah dilakukan sejak bertahun-tahun. Dia mengaku tanggung kalau hanya puasa Senin dan Kamis. "Sekalian kan, Senin sampai Kamis," tambahnya.
Inikah yang membuat warga NU Jatim lebih banyak memilih PDI Perjuangan ketimbang PKB?. Ini sesuai hasil survei elektabilitas partai yang belum lama di rilis. Hasil jajak itu menyebutkan bahwa warga Nahdliyin yang memilih PDI Perjuangan ternyata lebih banyak ketimbang yang memilih PKB.
Aneh kan? Karena itu, banyak yang menganggap hasil survei tersebut tak valid. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai bullshit. Masak di daerah basis santri, partai yang berbasis Islam abangan bisa lebih memikat dibanding partai yang didirikan NU?
Pak Kusnadi pun mengaku sempat kaget dengan hasil survei itu. Tapi suvei tersebut bukan jajak pendapat abal-abal. Yang diselenggarakan hanya untuk membangun gimmick dan membangun persepsi masyarakat.
Survei itu tidak salah kalau kita melihat realitas sehari-hari di masyarakat. Yang tidak semua warga yang mengaku muslim tergolong taat menjalankan ajaran agamanya. Masih banyak juga muslim yang belum menjalankan syariatnya.
Tidak semua menjadi santri. Sebutan untuk mereka yang pernah mendapatkan pendidikan di pondok pesantren. Atau yang dalam kategorisasi Geertz masuk golongan muslim yang taat. Mereka yang selalu menjalankan syariat Islam.
Nah, di Jatim orang yang belum taat menjalankan ajaran agama pun pasti akan mengaku sebagai warga NU ketika ditanya afiliasi ormasnya. Mereka merasa menjadi NU bukan karena memiliki kartu anggota. Tapi lebih karena pernah ikut kegiatan NU.
Mereka ini adalah warga NU amaliyah. Yang setiap saat ikut agenda Yasinan, Tahlilan, dan Salawatan. Atau setidaknya ikut acara pengajian Maulid yang biasanya digelar rutin di kampung-kampung atau desa.
Bahkan, banyak warga yang masih suka mabuk-mabukan tetap merasa dirinya NU. ‘’Mereka kalau ditanya ikut NU atau Muhammadiyah, pasti jawabannya NU. Sangat kecil kemungkinan di Jatim mereka menyebut Muhammadiyah,’’ kata Kusnadi.
Penjelasan ini bisa sejalan dengan sejumlah riset yang dilakukan secara nasional. Yang hasilnya menyebutkan Muslim di Indonesia mayorits berafiliasi ke NU. Bahkan, ada yang menyebut jumlahnya sampai 60 persen dari jumlah penduduk di Indonesia, atau lebih dari 100 juta jiwa.
Alvara Research Center pernah meneliti, jumlah penduduk Muslim Indonesia yang berafiliasi dengan NU berjumlah 79 juta jiwa. Mereka tidak semuanya memegang kartu anggota ormas Islam yang didirikan KH Hasyim Asy’ari ini. Atau menjadi anggota NU secara formal.
Penelitian itu juga menyebutkan, umat Islam Indonesia mayoritas melakukan tahlilan (83.4%), merayakan maulid Nabi (90%), melakukan qunut saat Subuh (71.7%), ziarah ke makam ulama (48.8%), dan melakukan shalat tarawih 23 rakaat (54.1%), serta penentuan awal hari besar mengikuti rukyatul hilal (62.8%).
Semua yang disebut di atas adalah indikator amalan yang biasa dilakukan warga Nahdliyin. Orang yang melakukan itu semua akan disebut sebagai berafiliasi dengan NU, meski tidak memiliki kartu anggota organisasi berbasis pesantren ini.
Secara kultural, PDI Perjuangan juga disebut lebih dekat dengan NU. Demikian pula orientasi kebangsaannya. NU dikenal sebagai Ormas Islam yang selama ini konsisten menjaga keutuhan NKRI. Ini karena NU ikut berjuang mewujudkan kemerdekaan RI.
Saya pun setuju dengan penjelasan ini. Apalagi sejak tahun 1980-an mulai terjadi santrinisasi kaum abangan. Ada kegairahan baru di warga mantan partai aliran untuk ber-Islam. Tokoh-tokohnya banyak yang pergi haji.
Karena itu, agak berlebihan jika ada narasi tentang Islamofobia di negeri ini. Lha wong yang abangan saja ber-Islam ria kok?. Hanya mereka lebih memilih NU sebagai afiliasi keagamaannya. Tak memilih kelompok yang suka mengkafirkan muslim lainnya.