PTM Surabaya, Epidemiolog Sarankan Tunda Dulu
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berencana untuk menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) pasca turunnya asesmen level yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia dari yang sebelumnya level 4 menjadi level 3.
Sesuai dengan asesmen level daerah terkait penyebaran virus corona atau Covid-19, Surabaya kini berada dalam level 3 atau risiko sedang. Berdasar keputusan bersama antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Agama, Menteri Kesehatan (Menkes), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Republik Indonesia Nomor 03/KB/2021, Nomor 384 Tahun 2021, Nomor HK.01.08/MENKES/4242/2021, dan Nomor 440-717 Tahun 2021 PTM dapat dilakukan daerah level 3 dengan ketentuan maksimal kapasitas 50 persen, lalu PAUD maksimal 33 persen, kemudian untuk SDLB, SMPLB, SMALB, dan MALB 62-100 persen.
Menanggapi rencana tersebut, Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga Surabaya, Dr Windhu Purnomo mengatakan, Pemkot Surabaya harus melakukan asesmen terhadap semua aspek. Terutama yang paling penting terkait asesmen risiko di masyarakat.
Ia mencontohkan, berdasar asesmen paling utama yaitu terkait positivity rate memang tampak sudah sangat menurun dibandingkan sebelumnya. “Indikator utama adalah positifitas, kalau belum di bawah 10 persen sangat berisiko buat anak itu, bagi guru, bahkan bagi keluarga dari murid ini. Sekarang kalau lihat data, Surabaya sudah bagus, tapi masih di atas 13,74 persen. Kalau saya mending ditunda dulu,” ungkap Windhu kepada Ngopibareng.id, Selasa, 31 Agustus 2021.
Apabila memang nekat dibuka, maka asesmen ini harus dilakukan ketat. Misal, kesiapan sekolah menggelar PTM dengan protokol kesehatan, lalu kesehatan tenaga pendidik dan keluarga di rumah, Jika guru atau keluarga memiliki komorbid, maka siswa diminta untuk tidak mengikuti PTM, termasuk guru yang berusia di atas 60 tahun dan memiliki komorbid.
Tak kalah penting, risiko perjalanan dari rumah ke sekolah dan sebaliknya. Sebab, perjalanan siswa ini penuh risiko jika tidak terpantau.
Ia mencontohkan, misal ada anak yang menggunakan kendaraan umum ketika berangkat ke sekolah. Karena kondisi kendaraan umum yang tidak mungkin ada penerapan protokol kesehatan membuat anak-anak rawan terpapar jika ada satu orang pembawa virus. Apalagi, dengan varian baru membuat anak-anak mudah terpapar.
“Yang sulit itu di luar sekolah karena kalau keluar dari rumah ke sekolah kan ada perjalanan. Kalau bisa dipastikan anak itu langsung datang ke sekolah, begitu juga saat pulang, gak masalah. Itu pun harus diperhatikan. Kalau naik kendaraan umum berisiko karena gak bisa dikendalikan siapa yang mengawasi murid? Kalau di sekolah bisa dikendalikan,” jelasnya.
Belum lagi, kalau dalam perjalanan anak-anak ini masih mampir untuk nongkrong dan sebagainya bisa menjadi berbahaya. Sehingga, skema antar jemput menjadi solusi.
Kemudian yang harus diperhatikan lainnya adalah seluruh siswa dan tenaga pendidik harus sudah menerima vaksinasi dua dosis. “Ya harus kan, ini buat proteksi,” pungkasnya.