Psikologi Felix Siauw, Ini Renungan Ulil Abshar Abdalla (1)
Akhir-akhir ini, perbicaraan soal jilbab muncul kembali. Apakah jilbab itu wajib atau jilbab itu budaya? Hal itu dipicu atas Felix Siauw yang mencibir pandangan Nyai Sinta Nuriyah, isteri Gus Dur (almaghfurlah).
Terlepas dari soal jilbab -- yang diperdebatkan dan memancing sejumlah tokoh untuk menyampaikan pandangannya-- Intelektual Muslim Ulil Abshar Abdalla justru menyoroti dari sisi lain. Pengampu pengajian online dan Kopdar Kitab Ihya' Ulumiddin ini, justru menyampaikan pandangan yang menggugah kesadaran kita bersama.
Berikut pandangan Ulil Abshar Abdalla:
Di kalangan teman-teman Kristen (mungkin sebagian, tidak semua), ada keyakinan bahwa makin umat Kristen dan gereja ditindas, ia justru akan kian besar dan tumbuh-berkembang. Sejarah gereja sejak dulu membuktikan hal ini. Penindasan dan persekusi atas umat Kristiani justru membuat iman mereka kian teguh.
Salah satu contoh persekusi umat Kristen yang direkam oleh Qur'an adalah kisah tentang "seven sleepers", tujuh anak muda yang tidur hingga tiga ratus tahun, ditemani oleh anjing mereka, di dalam gua. Dalam Qur'an, mereka ini disebut Ashabul Kahfi – orang-orang yang tinggal di gua.
Sebetulnya, apa yang diyakini oleh umat Kristiani bukan hal yang khas pada mereka, melainkan semacam hukum sejarah yang nyaris berlaku di mana-mana. Jika suatu keyakinan ditindas, dimusuhi, dan pengikutnya dibunuh dan disiksa, keyakinan itu (apapun namanya, baik keyakinan yang bersifat relijius atau sekuler) akan cenderung kian solid dan malah berkembang-biak. Ketika seorang pemeluk kepercayaan, akidah, atau madzhab tertentu ditindas, mereka justru akan makin kuat pertahanan psikologisnya.
Sebenarnya hal ini merupakan hukum yang secara alami berlaku pada banyak kasus. Ketika seseorang diserang, reaksi yang paling alamiah dari orang itu ialah mengembangkan apa yang disebut dengan "self defense", pertahanan diri. Ketika seorang pemain pencak silat, misalnya, hendak dipukul oleh lawannya, eits, dia pastilah akan secara refleks mengembangkan sikap "pasang kuda-kuda" untuk membela diri. Ini berlaku bahkan bukan pada konteks manusia saja. Binatang pun jika mengendus suatu bahaya, ia akan mengaum, mengeluarkan reaksi fisik yang menandakan ia sedang siap-siap menghadapi bahaya.
Hari-hari ini, orang-orang banyak membicarakan sosok yang namanya Felix Siauw. Dia dikenal sebagai seorang muallaf yang kemudian memeluk "akidah politik" tertentu, yaitu keyakinan akan pentingnya konsep khilafah, dan bahwa mendirikan khilafah adalah kewajiban agama. Akidah politik ini diperjuangkan oleh kelompok yang bernama Hizbut Tahrir, atau HTI ("i" di sini merujuk kepada cabangnya yang ada ada di Indonesia; meskipun "i" juga bisa berarti Inggris, Islandia, Irlandia, atau yang lain).
Sejak pemerintah Jokowi melarang HTI, tekanan terhadap para aktivis HTI meningkat tajam. Hampir semua kekuatan-kekuatan Islam yang dominan, terutama NU dan Muhammadiyah, melakukan tekanan secara intelektual maupun sosial atas kelompok ini. Secara nasional nyaris ada semacam kesepakatan (tentu saja yang tidak sepakat ada juga, tetapi jumlah mereka lebih kecil) bahwa kelompok ini merupakan ancaman atas eksistensi NKRI, dan kerana itu langkah waspada harus diambil untuk menhadapinya.
Waktu saya mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) pada 2001, salah satu sasaran utama kritik saya dan kawan-kawan adalah HTI. Saat itu, masih jarang di kalangan tokoh-tokoh NU atau Muhammadiyah yang menyadari bahaya kelompok ini. Saya sudah mengenal kelompok ini sejak tahun 90an. Saya, bersama teman-teman JIL yang hanya segelintir, nyaris sendirian menghadapi kelompok ini, berdebat di beberapa forum dengan tokoh-tokoh HTI: Ismail Yusanto, Siddik Al-Jawi, dll. Apa yang diperjuangkan JIL dulu nyaris sama persis dengan apa yang dilakukan oleh teman-teman Ansor, Banser dan lain-lain saat ini: menghadapi kelompok-kelompok yang mengancam keragaman sosial di Indonesia seperti HTI, kelompok-kelompok salafi, dll.
Sekarang ini, apa yang saya lakukan bertahun-tahun yang lalu sudah diambil-alih dan dikerjakan secara jauh lebih efektif oleh teman-teman NU, Muhammadiyah, dll. Dan karena itulah, sudah saatnya JIL istirahat, dan saya memutuskan mengambil jalan lain yang, untuk sebagian orang, mengagetkan: yaitu "ngaji" Ihya' Ulumiddin. Bagi saya, sudah saatnya mengajarkan tasawwuf kepada publik secara lebih luas melalui sumber-sumbernya yang otoritatif dalam khazanah klasik Islam, sebab inilah "jalan menikung" (detour) yang lumayan efektif, dalam pandangan saya, untuk menghadapi (semula saya menulis "memerangi", tetapi saya hapus karena terlalu "konfrontatif") radikalisme agama. Pemahaman keagamaan yang keras biasanya dilandasi oleh kemarahan dan absennya dimensi mistik atau tasawwuf di dalamnya.(Bersambung)
*) Dipetik dari akun facebook Ulil Abshar Abdalla.