Psikolog, Keluarga Korban Pelecehan Seksual Harus Lakukan Ini
Belakangan masyarakat dikejutkan dengan beberapa kasus pelecehan seksual yang terungkap. Pelecehan seksual selalu meninggalkan trauma mendalam bagi korban dan juga keluarganya.
Lantas bagaimana sikap keluarga bila dihadapkan dalam kondisi demikian? Sebab beberapa orang terkadang ingin melakukan balas dendam pada pelaku.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga (Unair) Margaretha Rehulina, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc mengatakan, hal tersebut bukan yang terbaik bagi korban, karena sebenarnya balas dendam merupakan emosi pribadi.
"Karena ketika kita marah, kehilangan, benci sebenarnya yang ingin dikejar adalah pemuasan kemarahan diri. Jadi ingin memuaskan kebutuhan diri untuk membalas dendam," kata Retha.
Retha menjelaskan, marah dan rasa ingin balas dendam adalah sangat mungkin terjadi. Apalagi, berdasarkan pengamatannya, sebagian besar pelaku kejahatan seksual adalah orang yang dikenal korban.
Bisa guru, keluarga, bahkan orang tua sendiri. Menurutnya, hal itu, yang membuat korban maupun keluarga korban menjadi lebih terpukul.
“Kerusakannya lebih parah karena yang dijarah bukan hanya tubuh, tetapi juga kepercayaan,” tandasnya.
Kendati demikian, Retha menandaskan bahwa yang perlu dipahami adalah posisi korban kejahatan seksual saat ini sedang membutuhkan dukungan keluarga atau orang-orang terdekat.
Sehingga, alih-alih menghabiskan energi pada keinginan membalas dendam, lebih baik fokus memberikan dukungan bagi korban untuk melanjutkan hidupnya.
Mengakses Bantuan Hukum
Dosen yang kini tengah belajar di University of Melbourne ini lebih menyarankan agar pihak keluarga atau orang terdekat mengakses bantuan hukum jika kejahatan seksual telah terjadi.
"Bukan berarti keluarga yang harus mencari keadilan sendiri. Tetapi menggunakan jalur dan proses hukum.
Keluarga bisa membantu polisi agar bisa melakukan penyelidikan lebih cepat. Sehingga pelaku atau tersangka dapat segera dihentikan agar tidak melakukan pengulangan kejahatan,” jelasnya.
Ia menggarisbawahi bahwa dukungan dan bantuan dari lingkungan terdekat adalah hal utama yang dibutuhkan oleh korban. Jika korban kejahatan seksual adalah anak-anak, sangat diharapkan bukan hanya keluarga, tetapi juga sekolah turut memberikan dukungan.
Meski demikian, sejauh ini yang terjadi di Indonesia masih jauh dari harapan Retha. Korban kejahatan seksual dianggap harus mengundurkan diri dari sekolahnya.
“Misalkan sampai terjadi kehamilan, itu yang terjadi adalah anak diminta mengundurkan diri dari sekolah. Ini kita tambah melukai korban dan membuat korban bertambah traumanya," tandasnya.
Menurutnya, perlakuan tersebut juga akan menambah trauma korban, tak hanya trauma diperkosa tapi juga trauma diambil hak pendidikannya.