PSBB Diperpanjang Oke, Tapi Bu Khofifah dan Bu Risma Bersatulah!
Pembatasan Sosial Berskala Besar Surabaya Raya hari ini berakhir. Namun kabarnya akan diperpanjang lagi. Kemungkinan 14 hari lagi.
Kalau ini terjadi maka tekat untuk hidup new normal menjadi tertunda. Meski gaung hidup new normal sebetulnya juga belum menemukan alasannya di sini. Mengapa? Sebab, kurva positif Corona juga belum melandai di wilayah ini.
Jawa Timur masih terus menanjak. Tingkat kesembuhan belum tinggi. Tingkat kematian masih belum melandai. Surabaya menjadi penyumbang tertinggi kasus Covid-19 di Jatim. Itu terjadi sampai kini.
Menurut analisis Alvara, tingkat kerawanan provinsi Jatim masih sangat mencemaskan. Ini bila dilihat tingkat kesembuhan pasien yang rendah dan tingkat kematian akibat Covid-19 yang tinggi.
Karena faktanya masih demikian, PSBB yang diperpanjang menemukan alasannya. PSBB adalah salah satu strategi memutus mata rantai penularan virus yang telah menyebar ke seluruh dunia ini.
Secara undang-undang, cara lainnya adalah Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Rumah. Tapi, pemerintah tidak memilih itu. Sesuai dengan Peraturan Presiden, Indonesia lebih memilih PSBB dan pelaksanaannya diserahkan kepada daerah masing-masing.
Koordinasi Daerah
Nah, peran daerah dalam melaksanakan PSBB ini menjadi sangat sentral. Berhasil dan tidaknya sangat tergantung kepada gubernur dan walikota atau bupati. Merekalah pengendali lapangan setelah PSBB mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan.
Bagaimana teknis koordinasi di lapangannya? Sistem pemerintahan kita telah mengaturnya. Pemerintah Provinsi menjalankan azas dekonsentrasi. Ia menjalankan kewenangan pemerintah pusat untuk berkoordinasi dengan pemerintah kota dan kabupaten.
Mengkoordinasikan dengan instansi vertikal lainnya agar keputusan yang telah diambil dalam perang melawan Corona mencapai hasil yang maksimal. Mendistribusikan budget pusat ke pemerintahan di bawahnya.
Sedangkan Pemerintah Kota dan Kabupaten menjalankan azas desentralisasi. Yakni pemberian sebagian kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kota dan Kabupaten. Di sinilah dalam beberapa hal, pemerintah kota dan kabupaten memiliki otonomi dalam mengelola sumberdayanya.
Melalui azas desentralisasi, memungkinkan walikota dan bupati untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam mengelola layanan dasar seperti layanan administrasi, pendidikan dan kesehatan. Berbagai inovasi bisa dimunculkan dalam menjalankan berbagai kewenangannya. Masing-masing kota dan kabupaten bisa menentukan prioritas yang akan digarap sesuai dengan kebutuhannya.
Misalnya, dalam penanganan Covid-19, Pemkot Surabaya bisa melakukan pengadaan rapid test dalam jumlah besar dengan kemampuan APBD yang dimilikinya. Dengan rapid test tersebut, Pemkot akan memiliki data valid tentang mereka yang terpapar virus Corona.
Sementara Pemprov Jatim bisa mengkoordinasikan antara Pemkot dengan kabupaten dan kota di sekitarnya Surabaya. Menjaga semua pintu keluar masuk kota Surabaya dengan mentracing semua orang yang pernah dan akan masuk di Surabaya.
Kedua pemerintah daerah ini juga bisa mengerahkan tenaga kesehatan maupun relawan untuk menangani pasien yang serius maupun mereka yang hanya perlu dikarantina. Pemprov juga bisa mengerahkan faskes yang ada untuk penanganan pasien Covid asal Surabaya.
Berbagi Bukan Berebut
Bisa dibayangkan jika Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya berbagi peran sesuai dengan azas dokonsentrasi dan desentralisasi akan mampu menghasilkan penanganan pandemi ini secara optimal. Apalagi, presiden telah memberikan tambahan payung hukum dengan penetapan pendemi Covid sebagai bencana nasional.
Sayang, yang tampak di publik justru ada ketidakompakan antara Bu Khofifah sebagai Gubernur Jatim dan Bu Risma sebagai Walikota Surabaya. Bahkan, ketidakkompakan itu sampai merembet ke tingkat birokrasinya.
Di awal penerapan PSBB pertama, antar kedua kepala daerah ini malah saling berbantah tentang perkembangan pandemi. Pemprov menuding Pemkot lambat dalam menangani cluster Sampoerna, sedangkan Pemkot mengaku sudah bekerja keras.
Bahkan, Pemkot Surabaya sampai memasang iklan besar di media nasional dan lokal dengan mengatakan kalau Bu Risma sudah bekerja keras atasi Covid-19. Juga sempat muncul protes Bu Risma yang mengeluhkan faskes milik Surabaya banyak dipenuhi pasien positif dari luar Surabaya.
Yang menyedihkan lagi perseteruan antar kedua pemimpin perempuan ini sampai melibatkan birokrasi di bawahnya. Di media sosial, Humas Pemkot dan Humas Pemprov saling sindir dan saling berbantah soal penanganan pandemi Corona.
Bahwa terjadi perebutan peran antar kepala daerah bisa dimaklumi. Sebab mereka memang pejabat politik yang dihasilkan dari pemilihan umum. Maka setiap momentum --termasuk pandemi ini-- bisa dimanfaatkan untuk memperoleh gain politik. Bisa menjadi bagian menaikkan pamor politik.
Tapi bahwa perebutan gain politik antar mereka melibatkan birokrasi, rasanya sudah melampaui batas etika pemerintahan. Birokrasi seharusnya menjadi institusi netral karena mereka adalah aparat negara. Bukan pejabat politik yang karirnya tidak ditentukan oleh hasil kontestasi.
Kalau kemudian PSBB Surabaya tahap kedua tidak menunjukkan hasil yang lebih baik, barangkali juga akibat ketidakkompakan antar pemimpin daerah ini. Selain karena diumungkinkan program yang tumpang tindih akibat kurangnya koordinasi, publik juga tak punya acuan pasti siapa yang harus diikuti.
PSBB Surabaya tahap kedua sudah berakhir. Konon akan dilanjutkan dengan PSBB tahap ketiga sampai 9 Juni. Namun kalau persoalan mendasar koordinasi antar Pemprov dan Pemkot tak diperbaiki, hasilnya akan jauh panggang dari api. Karena itu, bersatulah Bu Khofifah dan Bu Risma.
Rasanya kalau dua pemimpin perempuan hebat ini menyatu dalam langkah, kurva Covid-19 di Surabaya bisa segera melandai. Dukungan publik untuk perang melawan Corona bisa lebih dahsyat. Sebab, antar kedua tokoh politik ini punya basis dukungan yang bisa saling menopang. Bersama perang melawan pandemi Corona.
Di belahan dunia, sejumlah pemimpin perempuan telah menunjukkan efektifitasnya dalam menangani pandemi ini. Jerman, New Zeland, dan Taiwan --sekadar menyebut sedikit contoh. Kami yakin, Jatim dan Surabaya juga akan sukses melawan pandemi jika Bu Khofifah dan Bu Risma bergerak bersama.
Kok saya yakin itu. Biar warga Surabaya tak terlalu lama terbatas bergerak karena kasus dan korban Covid-19 masih terus meninggi. Kami kangen warga Surabaya segera tersenyum lagi.