PSBB Surabaya Berakhir, Pembuktian Kembali Kinerja Risma
Pemerintah Kota Surabaya memilih untuk tidak melanjutkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) Jilid Empat. Dengan pertimbangan ekonomi, ibukota Provinsi Jawa Timur ini memilih memasuki kehidupan baru alias New Normal.
"Sebetulnya, kalau melihat grafik Covid-19, sebetulnya belum saatnya PSBB Surabaya dicabut. Harusnya malah dikencengin," kata CEO Alvara Reseach Center, Hasanudin Ali kepada ngopibareng.id.
Belajar dari Jakarta yang skala ekonomi besar saja, lanjut alumnus ITS ini, PSBB sampai diperpanjang 4 kali. Sekarang pun belum dicabut dan masih transisi. Sedangkan Surabaya baru berlangsung tiga kali.
"Dampak PSBB di Surabaya belum terasa. Setidaknya masih perlu diperpanjang satu kali," katanya.
Hasil analisis Alvara menunjukkan trend naik angka konfirmasi positif dan Pasien Dalam Perawatan (PDP) Grafis ini merupakan hasil analisis data sejak 1 April hingga 7 Juni 2020.
Lantas bagaimana kalau Surabaya dengan alasan ekonomi menyudahi PSBB? Kata Hasanudin, jika alasan ekonomi, seharusnya Pemkot Surabaya bisa lebih menggalakkan bantuan sosial bersama para pengusaha.
Walikota Surabaya Tri Risma Harini ngotot untuk menyudahi PSBB yang sudah berlangsung sebulan. Ia beralasan bahwa warga Surabaya harus tetap hidup. Karena itu, kalau berbagai pusat ekonomi harus tutup mereka tidak akan punya penghasilan.
Ia mengemukakan hal itu kepada media siang hari sebelum Rapat Koordinasi Evaluasi PSBB Surabaya Raya Jilid Dua yang berlangsung di Gedung Grahadi, Surabaya. Risma tidak hadir dalam rapat tersebut. Ia hanya diwakili Kepala BPB Linmas Irvan Widyanto.
Drama Pertengkaran Risma vs Khofifah
Perjalanan PSBB Surabaya Raya memang tidak semulus pelaksanaan PSBB di kota dan propinsi lain. Salah satunya karena antar kepala daerah tidak satu visi dan satu langkah dalam penanganan Pendemi Covid-19.
Bahkan, pertengkaran yang sampai mencuat ke permukaan tampak antara Pemkot Surabaya dengan Provinsi Jawa Timur. Pertengkaran ini tidak hanya terjadi antara pucuk pimpinannya, tapi sampai melibatkan birokrasi di bawahnya.
Sejak mula, Risma memang bertekad mengatasi pandemi ini dengan caranya sendiri. Saat ramai-ramai muncul usulan lockdown di awal pandemi, ia sudah dengan tegas tak akan melakukan. ''Saya tidak akan melakukan lockdown,'' katanya di depan peserta rapat koordinasi penanganan Covid-19 di Balaikota Surabaya. Banyak pengusaha mall yang hadir saat itu.
Risma pun melakukan langkah-langkah di lapangan. Ia mengerahkan stafnya membuat handsanitizer sendiri untuk dibagikan kepada warganya. Juga membuat minuman pokak yang diyakini bisa menambah imunitas melawan Corona. Juga melakukan penyemprotan diisfektan dan bikin dapur umum.
Bermodalkan anggaran Rp 190 Miliar yang telah disetujui DPRD Kota Surabaya ia melakukan semua itu. Ia memimpin sendiri gerakan penyemprotan disinfektan di jalan-jalan.
Gerak cepatnya di awal pandemi ini seakan kehilangan arah setelah Pemprov Jatim dengan Gubernur Khofifah Indar Parawansa mengusulkan PSBB Surabaya Raya ke pemerintah pusat. Dalam rapat koordinasi jelang PSBB Jilid Pertama, Risma sudah terkesan enggan dengan keputusan Pemrpov Jatim.
Usai rapat bersama dengan Khofifah di Grahadi, ia tak mau diwawancarai media. Sementara Bupati Sidoarjo dan Gresik merespon positif keputusan tersebut. Saat itu, tidak bisa dikonfirmasi mengapa Risma langsung masuk mobil dan menghindar saat ditanya wartawan.
Namun, tidak lama setelah itu perang terbuka antara Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya mencuat ke permukaan. Apalagi setelah Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Jatim mengungkap cluster Sampoerna. Saat itu, Jatim menyalahkan Surabaya karena manajemen Sampoerna telah lama melaporkan kasus positif di pabriknya tapi tak mendapat tanggapan.
Sejumlah buruh linting Rokok Sampoerna yang berada Kecamatan Rungkut terkonfirmasi positif Corona. Mereka langsung melakukan isolasi mandiri. Konon, manajamen sudah melapor ke Dinkes Surabaya tak mendapat tanggapan. Mereka lantas melapor ke Provinsi. Blar...meledaklah cluster itu ke permukaan.
Hubungan antara Khofifah dan Risma yang tadinya hangat-hangat tahi ayam menjadi panas. Pemkot Surabaya menolak penyebutan Cluster Sampoerna. Mereka juga tak mau disalahkan. Apalagi abai terhadap laporan Sampoerna.
Saling sindir dan saling bantah tidak hanya terjadi di tingkat kedua pemimpim daerah perempuan ini. Juga terjadi di birokrasi bawahannya. Bahkan, Humas Pemkot dan Humas Pemprov saling berbalas seperti para netizen di media sosial.
Di sela-sela saling bantah itu, Risma mengumpulkan PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Surabaya dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Surabaya. Ia mengeluh warganya terlantar karena RS miliknya dipenuhi pasien dari luar daerah.
Lantas, terjadi pengiriman pasien secara hampir bersamaan ke UGD RS Dr Sutomo milik Pemprov. Pengiriman pasien dari Surabaya yang dinilai tidak melalui koordinasi ini membuat Pemprov naik pitam. Khofifah pun ikut bicara dan bilang ada SOP yang harus dipenuhi dalam mengirim pasien.
Sejak saat itu, Risma tak lagi pernah hadir dalam rapat evaluasi maupun koordinasi pelaksanaan PSBB Surabaya di Grahadi. Apalagi, Khofifah memutuskan pelaksanaan PSBB Malang Raya. Dengan pantauan langsung. Karena dianggap berhasil, PSBB Malang Raya hanya berlangsung sekali.
Bara api makin membara. Puncaknya saat PSBB Surabaya jilid tiga baru saja berlangsung. Tiba-tiba, Risma murka besar. Karena mobil PCR dari BNPB dipakai Pemprov Jatim untuk test Covid di daerah luar Surabaya. Padahal, akunya, yang minta mobil itu dirinya.
''Saya akan umumkan disini. Kalau mau berniat sabotase jangan seperti itu. Mobil itu permintaan Pemkot. Kalau nggak percaya tanya Pak Pramono Anung dan Mbak Puan. Saya nggak terima kalau dianggap tidak bisa kerja,'' murka Risma di depan anak buah dan media.
Pemprov juga tidak terima dianggap menyabotase mobil PCR yang dikirim BNPB ke Pemprov Jatim. Gugus Tugas Covid-19 Jatim menegaskan mobil itu atas permintaan Gubernur Khofifah ke pemerintah pusat. Penggunaannya sesuai dengan jadwal yang telah disusun.
Tidak jelas siapa yang dimarahi Risma lewat telpon. Tapi hubungannya dengan Pemprov makin panas. Sampai kemudian BIN turun tangan mengirim mobil rapid test. Presiden Jokowi mengirim Menkes Terawan dan Kepala BNPB Doni Monardo ke Surabaya.
Mereka pun berjanji menambah mobil PCR ke Surabaya. Untuk mendukung penanganan Covid-19 di Jatim dan Surabaya yang terkonfirmasi positif terus meningkat. RS Unair yang sejak awal menangani pasien Covid pun akhirnya angkat tangan. Tak terima pasien baru.
Saling sindir dan menyalahkan masih berlanjut. Apalagi setelah Kadisdik Jatim menggelar pelantikan Kepala SMA se Jatim yang bikin heboh. Pemkot punya senjata baru. Secara terbuka diungkap pihaknya kirim surat menanyakan kasus itu untuk kepentingan tracing di kotanya.
Jatim dengan sumbangan terkonfimasi positif terbanyak dari Surabaya menunjukkan grafis kasus Covid yang terus meningkat. Konfirmasi positif terus bertambah di saat daerah lain mulai melandai. Itu di hari pertama setelah PSBB Surabaya Raya berakhir, 7 Juni 2020.
Pembuktian Kembali Kinerja Risma
Sehari jelang berakhirnya PSBB Surabaya Raya, Risma kepada media mengungkapkan tak ingin PSBB dilanjutkan. Dengan bahasa sedikit halus, ia akan mengusulkan ke Gubernur Khofifah agar PSBB Surabaya tidak dilanjutkan. ''Kasihan warga saya tak punya penghasilan,'' katanya.
Malam harinya, ia mengirim anak buahnya ikut rapat koordinasi dengan Gubernur untuk mengevaluasi PSBB Surabaya Raya. Irvan Widyanto --utusan Risma-- mengungkapkan pesan bosnya kalau Surabaya ogah PSBB diteruskan.
Dalam rapat itu, Irvan menyatakan Pemkot sudah memiliki beberapa cara serius menangani Covid-19 meski tanpa PSBB. Ada empat langkah akan dilakukan. Pertama, penerapan protokol kesehatan lebih ketat di semua aspek kehidupan.
Kedua, tetap mempertahankan check point perbatasan kota. Ketiga, meminta semua kepala OPD menggelar forum diskusi, khususnya aspek kesehatan. Keempat, mempertegas protokol kesehatan kepada masyarakat. ''Ibu Walikota telah siap semua,'' tegasnya.
Pemprov Jatim tak bisa mengelak dengan sikap Pemkot Surabaya ini. Apalagi juga didukung Bupati Sidoarjo dan Gresik. Gubernur pun seakan lepas tangan. Menyerahkan PSBB terus atau tidak kepada daerah masing-masing.
Kini, tongkat komando penanganan Covid-19 di Surabaya telah kembali sepenuhnya di tangan Risma. Tak ada lagi bayang-bayang Gubernur Khofifah. Tongkat komando kembali di saat grafik Covid di kotanya masih meninggi. Juga saat warganya yang sedang terbelah soal pertengkarannya dengan kepala daerah di atasnya.
PSBB Surabaya berakhir. Kini saat pembuktian kinerja Risma menangani pendemi. Pertaruhan berani di akhir masa jabatannya di tahun ini.
Advertisement