Proyek PSN SWL Kenjeran Ancam Mangrove di Surabaya, WALHI: Pemerintah Tak Punya Kesadaran Ekologis
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur Wahyu Eka Setyawan prihatin dengan kondisi luasan hutan mangrove yang semakin menyusut, khususnya di Surabaya. Rencana proyek strategis nasional (PSN) waterfront city di pesisir timur Surabaya dinilai menjadi ancaman terbaru kawasan mangrove di Surabaya.
Wahyu menjelaskan, dalam Peta Mangrove Nasional 2021, Provinsi Jawa Timur menjadi wilayah dengan luasan mangrove terbesar di Pulau Jawa dan Bali dengan total hutan mangrove mencapai 27.221 hektare yang tersebar di sepanjang pesisir utara dan selatan, dengan komposisi 47,26 persen mangrove kerapatan lebat, 46,08 persen mangrove kerapatan sedang, dan 6,66 persen mangrove kerapatan jarang.
Namun, hutan mangrove dengan luasan terbesar se-Jawa dan Bali yang dimiliki Jatim tersebut menurutnya bukanlah sesuatu yang patut untuk dibanggakan dalam catatan WALHI Jawa Timur.
"Mangrove di Jawa Timur pada tahun 1985 memiliki luas sebesar 57.500 hektare, artinya ada degradasi sebesar 30.279 hektare dalam kurun waktu 36 tahun apabila dikalkulasikan kawasan mangrove di Jawa Timur mengalami degradasi sebesar 841 hektare tiap tahunnya," paparnya, Senin 29 Juli 2024.
Untuk Kota Surabaya, Wahyu menjelaskan, berdasarkan laporan yang dirilis Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Timur, kawasan mangrove di Pantai Timur Surabaya (PAMURBAYA) dan dielaborasikan dengan temuan lapangan, keadaan mangrove di Surabaya terus mengalami penyusutan.
"Keadaan mangrove di Kota Surabaya terus mengalami penyusutan dari yang sebelumnya seluas 3.300 hektare pada 1978 menyusut menjadi 2.504 pada tahun 2020, dan kami memperkirakan luasan hutan mangrove hanya tersisa 1.500- 2.000 hektare dan penyusutan ini terjadi akibat alih fungsi kawasan mangrove menjadi perumahan," tegasnya.
Walaupun kawasan hutan mangrove menjadi perhatian dari pemerintah provinsi dan kota, tetapi menurut Wahyu, kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur, hasil dari integrasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K), yang tidak berjalan baik karena berbagai tumpang tindih peraturan membuat perlindungan terhadap mangrove tidak berjalan optimal.
"Seperti penetapan kawasan proyek strategis nasional (PSN) waterfront city di pesisir timur Surabaya, yang sangat bertentangan dengan status kawasan lindung pesisir, karena akan memicu degradasi pesisir serta rusaknya kawasan mangrove di Surabaya," ungkapnya.
Wahyu melanjutkan, ditetapkannya kawasan pesisir timur Surabaya sebagai PSN tersebut adalah satu dari sekian kebijakan salah arah yang ditetapkan pemerintah pusat, yang kemudian dilegitimasi oleh penataan ruang di daerah. "Sehingga, ujung-ujungnya, pertumbuhan ekonomi lebih dipentingkan daripada pemulihan kawasan pesisir yang sudah terdegradasi dari tahun ke tahun," katanya.
Usaha untuk menjalankan penanaman kembali atau reboisasi terhadap tanaman mangrove terkesan adalah usaha yang sia-sia dan tidak berdampak karena penerbitan izin pembangunan secara sembarangan di kawasan mangrove yang seharusnya menjadi kawasan lindung.
"Masalahnya adalah alih fungsi kawasan mangrove terus terjadi setiap tahun, yang berarti penanaman kembali hanya jadi kebijakan tambal sulam, padahal yang dibutuhkan adalah menghentikan alih fungsi kawasan mangrove yang terus-menerus berlangsung," paparnya.
Oleh sebab itu, WALHI Jatim berharap kepada setiap pemangku kebijakan untuk tidak hanya mengucapkan komitmen semata dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Namun, juga memiliki kesadaran terhadap ekologi dan mengutamakan keadaan lingkungan di atas segalanya.
"Pemahaman yang menempatkan pelestarian lingkungan sebagai hal utama dalam kebijakan pembangunan, kehendak politik dalam penataan ruang sehingga praktik alih fungsi kawasan mangrove bisa dihentikan, dan regulasi yang ketat dalam pengelolaan kawasan lindung dengan prinsip penanggulangan bencana dan krisis iklim," pungkasnya.