Proyek Drainase dari Bank Dunia Kembali Disoroti DPRD Probolinggo
Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) yang didanai Bank Dunia di Kota Probolinggo kembali disoroti anggota DPRD dan warga Kecamatan Mayangan. Seperti tahun sebelumnya sebelumnya, sorotan tertuju pada proyek drainase yang dinilai belum optimal.
Sosialisasi program Kotaku di aula Kelurahan Mayangan, Senin, 3 Januari 2022 pun berlangsung memanas. Diawali ketika Kabid Perkim pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyampaikan presentasi dengan bantuan LCD proyektor.
Dijelaskan, proyek penataan permukiman di RT 3 RW 7 Kelurahan Mayangan itu di antaranya berupa saluran drainase dan pembuatan septic tank biofil. Pemaparan belum selesai, sejumlah warga langsung menginterupsi pemaparan proyek yang dinilai bakal seperti proyek drainase pada 2020 silam.
“Saya khawatir nanti saluran digali, rumah warga ambles, miring,” ujar Ny. Rofik. Soalnya proyek serupa di RT lain di Kelurahan Mayangan pada 2020 lalu banyak dikeluhkan warga.
Hal senada diungkapkan Mustofa, juga warga Mayangan. “Drainase dibangun tetapi masih juga banjir, ini bagaimana. Saya malah takut kalau air laut naik, masuk melalui saluran kemudian banjir,” ujarnya.
Syaifudin, anggota DPRD dari Fraksi PKB kemudian berusaha menenangkan warga. “Jangan tanya masalah-masalah teknis dulu, biar dijelaskan program penataan permukiman itu seperti apa,” ujarnya.
Abdul Kholik kembali melanjutkan presentasinya. Bambang, konsultan perencanaan juga ikut membantu menjelaskan melalui LCD proyektor.
Agar proyek tidak sampai merusak bangunan rumah warga, Kholik menegaskan, penggalian drainase tidak menggunakan alat berat. “Cukup pakai peralatan manual seperti, cangkul biar tidak ada getaran terhadap bangunan rumah warga,” katanya.
Usai mendengarkan pemaparan Kholik dan Bambang, Syaifudin justru mengaku, semakin tidak jelas. Anggota Komisi 2 DPRD itu menilai, sebelumnya proyek drainase banyak menyisakan masalah. “Ada masalah, tidak ada paving, ada kendala kandang sehingga tidak boleh dibangun. Ini carpak (bohong),” katanya.
Kalau ingin membebaskan Mayangan dari banjir, kata legislator asal Mayangan itu, seharusnya dilakukan normalisasi sungai dan drainase yang lama. “Bukam membikin drainase yang baru, pakai sudetan ke laut. Ini kalau airnya bentrok bisa meluap, banjir,” katanya.
Syaifudin juga mempertanyakan mengapa yang diundang tidak semua warga yang wilayahnya menerima program Kotaku. “Kalau pun semua warga setuju saya tidak setuju soal proyek di ujung (sudetan). Kalau diteruskan, proyek ini buang-buang uang,” ujarnya.
Ungkapan Syaifudin memancing suasana semakin panas. “Ini proyek dari Bank Dunia, mulai perencaanan hingga pelaksanaan clean and clear. Saya tidak terima dikatakan, menghambur-hamburkan uang. Dinas PUPR tidak punya uang, anggaran proyek dari Bank Dunia,” ujar Kholik.
“Lho apa saya menyebutkan Anda, Dinas PUPR yang menghabiskan anggaran?” timpal Syaifudin.
Ia mengakui, kawasan kumuh di Mayangan memang harus ditata kembali. “Bukan saya tidak setuju, tetapi tolong konsep semua, anggaran, siapa yang mengerjakan, papan proyeknya mana. Harus jelas,” katanya.
Sementara itu Syamsul Hadi, Koordinator Forum Kota (Forkot) Probolinggo yang menjadi pendamping masyarakat dalam program Kotaku di luar aula menjelaskan kepada wartawa soal proyek yang digelindingkan sejak 2018 silam.
“Proyek ini bergulir mulai 2018 silam sejak Walikota melalui SK-nya menetapkan Mayangan sebagai kawasan kumuh,” ujarnya.
Penataan permukiman Mayangan kemudian diajukan ke pemerintah pusat. Barulah pada 2019 muncul persetujuan dari pusat untuk mewujudkan program Kotaku di Probolinggo (Mayangan). “Dinas PUPR kemudian menyusun master plan, dan pertengahan 2020 program mulai dijalankan,” ujarnya.
Ditanya soal besaran anggaran Kotaku Probolinggo, Syamsul menyebut, sekitar Rp13 miliar. “Yang jelas, dalam pertemuan kali ini kita mencari solusi terbaik, bagaimana membenahi permukiman kumuh di Mayangan,” katanya.