Perpaduan Budaya Jawa-Tionghoa, Ini Prosesi Lamaran Unik
Indonesia benar-benar kaya akan keberagaman suku dan budaya termasuk dalam prosesi lamaran pernikahan. Di Surabaya upacara prosesi lamaran terbilang sangat unik dan langkah dengan memadukan budaya antara Peranakan Tionghoa dan Adat Jawa.
Hal ini terjadi dalam prosesi lamaran dari Jonathan Lauwardi dan Alodia Sutrisno yang dilaksanakan pada Sabtu 15 Juni 2019 di salah satu hotel bintang lima di Surabaya. Lamaran ini merupakan pelaksanaan dari tradisi pra-nikah yang biasa disebut Dingjing (dibaca Tingjing).
Konsep acara sendiri mengambil tema Glorius 50’s yakni tema yang menjadi ciri warga Tionghoa pada tahun 1950-an. Hal yang unik ada pada prosesi keluarga pria karena memperkenalkan konsep yang menggambarkan asimilasi budaya antara Peranakan Tionghoa dan Adat Jawa.
Prosesi keluarga pria diawali oleh figur ‘Cucuk Lampah’ yakno seorang pembuka jalan rombongan yang tidak berbusana penuh dengan pewayangan. Namun, menggunakan riasan putih sebagai lambang kearifan dan derajat yang mulia.
Busana pria menggunakan setelan ala Shanghai dengan modifikasi periode tahun 1950-an. Sedangkan rombongan menggunakan style peranakan yaitu kebaya kerancang tradisional untuk para wanita lengkap dengan sarung batik tulis dengan gaya peranakan yang meriah.
Kemudian unsur budaya Jawa yang kental terasa saat 10 pria yang membawa hantaran atau persembahan cinta dengan berbusana beskap Jawa. Batik yang dipakai para pria bermotif ‘Truntum’ yakni motif klasik karya Ratu Kencono, permaisuri dari Paku Buwono III yang melambangkan cinta yang kekal tak bersyarat.
Hantaran dari rombongan pria ini mengandung berbagai makna dan pengharapan baik. Jumlah hantaran yang dipikul ialah 8 hantaran. Hantaran ini diwadahi oleh dua tenong peranakan yakni wadah makan bersusun untuk berpergian serta dua pikulan kayu yang khusus dibuat di Tuban dengan ukiran naga lambang keagungan. Hal ini menjadi tradisi kuno dimana dari jaman dahulu dilakukan dengan prosesi pikulan.
Sementara isi dari hantaran bermacam-macam mulai dari buah, gingseng, jamur salju dan kurma cina (jujube), hingga sepasang minuman anggur atau wine. Dari semua hantara jumlahnya selalu angka genap namun menghindari angka atau jumlah empat dan bernuansa dominan merah sebagai ekspresi kebahagiaan.
Turut mewarnai prosesi ini, kembang magar dan janur sebagai representasi kembang mayang yang merupakan adat dari Jawa. Kemudian ada pisang raja yang bermakna ‘ngunduh kamulyaan kanugrahan’ yakni keagungan raja yang dimanifestasikan sebagai pemimpin, pembimbing dan pengayom rumah tangga.
Usai acara, Wahyu Subiantoro, salah seorang panitia yang merancang konsep dari kegiatan ini mengatakan bahwa acara ini memang digagas untuk berbeda dari yang lain. Dengan perpaduan adat Jawa dan Tionghoa membuat prosesi ini lebih sakral.
“Jadi biar berbeda saja. Kebetulan ibu dari Jonatan merupakan anggota dari Komunitas Batik Jawa, dan dia ingin pernikahan anaknya harus ada unsur Jawa. Batik yang digunakannya juga berasal dari Pamekasan tepatnya dari Desa Podhek,” ujar Wahyu.
Menurutnya pemilihan batik dari Pamekasan karena batik dari wilayah Madura memiliki ciri khas utama yakni corak latar dan semakin tahun kualitas batik Madura semakin baik.
“Secara general batik madura mengutamakaan latar. Disebutkan latarnya dulu baru namanya. Batik pamekasan sudah beranjak dari zaman dahulu dengan style peranakan. Yang berubah kualitas kehalusan yang semakin baik. Orang madura beradaptasi cepat dengan budaya luar,” jelasnya.
Sementara Jenny Widjaja selaku ibu dari Jonathan mengatakan bila Tionghoa memang pendatang di Indonesia, namun menurutnya Tionghoa selalu berbaur dengan masyarakat lokal di Indonesia.
“Jadi budaya Tionghoa memang pendatang disini, tetapi kita lahir di Indonesia jadi kita juga termasuk orang Indonesia mangkannya saya pilih asimilasi budaya Jawa dengan Tionghoa karena saya merasa bahwa keduanya merupakan budaya saya setiap hari,” ucapnya. (faq)
Advertisement