Proning Menyelamatkan Nyawa dari Keganasan Covid-19
Kali ini ungkapan renungan seorang ibu, yang mampu memetik hikmah dari kondisi pandemi Covid-19. Iin Indriyani, perempuan yang ibu, ini menuturkan langsung untuk kita petik hikmah dari Kedai Sufi Amanah:
Seorang lelaki paruh baya telah terinfeksi covid-19, memasuki masa krisis di hari ke-tujuh dan mulai mengalami kesulitan bernapas. Saturasi oksigen terus turun, sementara itu alat bantu napas yang seharusnya sesegera mungkin dipasangkan padanya, tidak lagi tersedia karena semua terpakai.
Janganlah mengira bahwa serangan covid-19 di Indonesia sudah di level "aman". Nyatanya...saat ventilator semua terpakai, mencari ICU di RS lain untuk rujukan pasien ini pun sulitnya bukan main. Semua menolak. Lalu...bagaimana nasib lelaki ini...? Jika dibiarkan, tak lama lagi ia akan mengalami gagal napas. Artinya.... waktunya di dunia pun habis.
Suami saya tak bisa tinggal diam. Berusaha melobby teman sejawatnya di salah satu RS pusat rujukan pasien covid. Temannya itu, seorang konsulen paru di sana menyarankan agar pasien ini diminta melakukan proning. Yakni posisi menelungkup dengan tubuh bagian atas lebih rendah dari bagian bawahnya. Ini mudah dilakukan bila menggunakan bed jenis hidrolik.
Posisi proning ini membuat cairan yang ada dalam paru-paru berpindah lokasi sehingga paru-paru dapat terisi oksigen dan pasien pun dapat bernapas.
Pada kasus bapak paruh baya ini, suami saya menyarankan posisi sujud di atas bednya. Dengan kepala ditolehkan ke kanan atau ke kiri dan kedua tangan sampai siku bertelekan di samping kanan/kiri kepalanya. Posisi ini dianjurkan untuk dilakukan selama 12-16 jam dalam sehari.
Bapak Paruh Baya
Bapak paruh baya ini mematuhinya. Dilakukannya posisi proning yang dimodifikasi menjadi posisi sujud ini. Laa hawla walaa quwwata illaa billaah...hanya dengan Kuasa Allah, ia bisa bernapas lagi.
Namun Bapak ini tak mau merubah posisinya setelah lewat 16 jam. Katanya, "Biar saya begini saja. Hanya dengan posisi ini saya bisa bernapas, dok. Posisi lain, nggak.bisa." Akhirnya...tim medis yang menanganinya pun membiarkan sambil terus memantaunya dengan seksama. Memang benar, saturasi oksigen normal selama dalam posisi itu. Begitu bangkit untuk duduk sebentar, langsung turun lagi ke bawah 80. Subhanallah...
Tiga hari kemudian, suami saya melihat Bapak ini sudah berjalan sendiri ke toilet. Wajahnya sudah segar. Lalu suami saya mengajaknya berbincang sebentar. Menginterogasi karena besarnya keingintahuan tentang manfaat posisi "sujud" tersebut dari sisi pasiennya. Dan jawaban Bapak itu sungguh menggetarkan hati.
"Maasyaa Allah.... Allahu Akbar. Allah Maha Tinggi... ketika kesombongan diri ini diletakkan pada posisi paling rendah saat bersujud, hati ini merasakan ketenteraman luar biasa. Tidak pernah saya merasakan yang serupa itu sebelumnya. Ketika nyawa saya sudah di ujung batas, saya rendahkan hati dan diri ini serendah-rendahnya di hadapan Sang Khalik, rasanya selain jadi bisa bernapas, hati ini begitu tenang. Tidak ada lagi kekhawatiran, ketakutan atau semacamnya. Saya merasa benar-benar dekat dengan Allah. Makanya waktu saya diminta ganti posisi, saya nggak mau. Saya sangat menikmati kedekatan dengan Allah di waktu itu. Yaa Allah... hikmah dari covid ini, saya semakin merasa betapa kita ini amat rendah, kecil dan hina di hadapan Sang Pencipta."
Penuturan Sang Suami
Rasanya....tak ada lagi yang dapat saya ungkapkan kala mendengar penuturan suami saya di suatu malam dua minggu yang lalu itu.
Hanya Allah yang mampu membuat seseorang sakit. Hanya Allah pula yang dapat mengangkat sakit itu dari tubuh seseorang.
Masihkah meragukan ke-Agung-an Allah... Maha Raja dari segala kerajaan...??? (Iin Indriyani)