Progres Trans Papua Ruas Mameh-Windesi Dibayangi Krisis BBM
Krisis bahan bakar minyak (BBM) sempat terjadi di Kabupaten Manokwari. Kondisi itu tidak terdengar ngopibareng.id yang tengah berada di lokasi proyek Trans Papua Segmen 2 Ruas Mameh-Windesi yang terletak di Kabupaten Teluk Wondamana.
Hanya saja, beberapa kendaraan berat yang melakukan penanganan di sepanjang ruas yang jadi kewenangan Satker PJN Wilayah IV Papua Barat (Bintuni) PPK IV.01, terlihat sudah tidak beroperasi kendati jarum jam baru beranjak ke pukul 14.00 WIT sehari sebelumnya.
Situasi ini sempat jadi bahan pembicaraan antara Mukhlis Mahmud Koordinator Pengawas Lapangan (Korwaslap) dengan Sekawan Lumbantoruan Sihombing Pengawas Lapangan, dua staf yang terbiasa turun ke medan berat dari PPK IV.01.
“Ada apa kok berhenti? Ini bisa menghambat target penanganan jalan dan jembatan di ruas Mameh-Wandesi. Kalau paket multi years mungkin masih bisa dikejar tapi untuk paket reguler single years seperti yang saya awasi bisa molor kalau begini,” lontar pria Muchlis Mahmud dengan gusar.
Dugaan awal, tidak beroperasinya excavator, breaker dan beberapa alat berat lainnya mungkin karena bulan Desember memasuki pertengahan musim hujan. Kondisi lembab di belantara rimba Pegunungan Mondiboy yang masuk rangkaian Pegunungan Arfak membelah wilayah leher kepala burung hingga ke utara, membuat cuaca susah diprediksi.
Tetapi itu juga terbantahkan dengan truk pengangkut yang juga tidak beroperasi. Selain itu, dropping bisa dilakukan lewat laut kendati costnya lebih tinggi ke dermaga Wendesi.
Dugaan kedua adalah banyak pekerja yang off untuk merayakan Natal dan malam pergantian tahun. Prediksi ini menguat ketika beberapa titik penanganan juga melompong tanpa aktivitas kerja sama sekali.
Prediksi ini diperkuat cerita dari Sekawan Lumbantoruan Sihombing, jika momen-momen seperti saat ini memang kerap terjadi karena pekerja yang beragama Kristen baik Protestan maupun Katolik meliburkan diri untuk berkumpul dengan keluarga. Terutama pekerja lokal yang rumahnya ada di sepanjang ruas Mameh-Windesi.
“Sama seperti tradisi mudik ketika bulan puasa dan menjelang lebaran di Jawa,” katanya.
Pertanyaan-pertanyaan itu baru terjawab setibanya perjalanan kami di mess pekerja PT Alam Jaya yang jadi mitra kerja BPJN XVII Manokwari menangani paket reguler ruas Mameh-Windesi 2. Krisis BBM! Itu jawaban yang terlontar dari salah satu staf mitra kerja ketika ditanya kenapa banyak alat berat yang tidak bekerja. Stok solar sebagai bahan bakar utama alat berat menipis dan belum ada kabar kapan dropping dari Manokwari tiba.
Dikhawatirkan jika dipaksa beroperasi dan kehabisan solar di tengah jalan, justru bisa menimbulkan persoalan lebih pelik. Istilah di kalangan mekanik, mesin bisa masuk angin.
“Kalau kondisinya seperti itu kita tidak bisa berbuat apa-apa daripada mesin masuk angin. Tetapi ini harus jadi perhatian mitra kerja kami agar tidak terus-terusan terjadi karena akhir tahun ada penanganan yang harus selesai,” kata Muchlis.
Dari informasi yang diberikan Andri staf PT Alam Jaya di kamp, kondisi ini sering terjadi dalam tiga bulan terakhir setelah ada pembatasan BBM jenis solar untuk kuota industri dari Pertamina di Manokwari.
“Kalau dulu sesuai kebutuhan. Misalnya sisa 3 ton sudah harus ada dropping karena mobilisasi BBM butuh waktu sehari dari Manokwari ke sini. Sekarang habis dulu baru dikirim. Kondisi ini sudah tiga bulan terakhir terjadi. Dulu pasokannya 20 ton kini hanya diberi 3,5 ton seminggu. Itu cukup hanya untuk sehari kalau ada pengerjaan penggalian. Kalau sekarang normalnya 10 ton perminggu karena sudah tidak ada penanganan berat,” bebernya.
Pembatasan ini jadi perhatian serius Sihombing. Apalagi kebutuhan solar sebenarnya sudah ada perhitungannya di BPJN XVII Manokwari.
“Dari kantor sudah hitung kebutuhannya. Kalau ada tambahan, ada laporan dari lapangan ke kontraktor. Lewat mana carinya terserah kontraktor. Tetapi sekarang memang ada aturan untuk dapat pasokan solar industri tidak bisa langsung ke Pertamina harus melalui mitra kerjanya yang ditunjuk di wilayah Manokwari. Kita tahunya jangan sampai penanganan terhenti karena solar habis. Cuma kalau kuota solar dibatasi kita tidak bisa lagi mengusahakan. Itu urusan pihak-pihak yang di atas,” sebutnya.
Solar terakhir yang datang sebanyak 18 drum. Sebagian malah dipinjam dari Puskesmas Sabobar yang letaknya tak jauh dari lokasi kamp, Kamis 6 Desember dan dikirim ke kamp dua hari berselang. Andri bahkan sempat menuturkan jika ada personil dari Polsek Werianggi sempat mendatangi kamp meminjam solar sebanyak 35 liter untuk kebutuhan kendaraan operasional. Tetapi permintaan itu dengan berat hati ditolak karena sudah kehabisan stok.
“Bapak polisi sampai saya ajak lihat tanki penyimpanan yang kosong,” cetusnya.
Biasanya, saling menolong di tengah kondisi serba keterbatasan memang jadi solusi. Satu-satunya stok BBM yang masih ada di kamp pekerja hanya jenis premium untuk aktivitas kendaraan roda 2 dan mesin jenset.
Sebelumnya Kepala Satker P2JN Wilayah Papua Barat, Leydrik Amto Luhuputty ST sempat mengungkap jika mobilisasi BBM jadi salah satu kendala di Trans Papua Segmen 2. Hal ini disebabkan kondisi medan yang cukup berat bagi kendaraan pengangkut untuk sampai ke tujuan.
Tetapi kabar adanya pembatasan kuota solar industri semoga bisa jadi perhatian instansi terkait. Jangan sampai progres Trans Papua terhenti karena alat berat untuk penanganan terhenti kehabisan solar. (gem)
Advertisement