Profesor Mainan Edukatif dari Jombang, Wow...
Pernah ke Jombang? Tentu pernah. Jombang itu di Jawa Timur. Kota yang banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional.
Jombang kini meroket soal kunjungan wisata. Di sana ada peristirahatan terakhir Gus Dur. Salah satu tokoh fenomenal di negeri ini. Destinasi wisata religi yang kini makin digarap Pemkab Jombang.
Kalau sedang berada di Jombang bolehlah mampir di Perumahan Griya Indah, Jombang. Carilah Blok B1. Sapalah sedikit warga sekitar, kemudian bertanyalah, atau langsung menuju sasaran, dimana tempat tinggal Pak Singgang Margono. Dengan senang hati orang pun akan menunjukkan: di sana lho pak profesor mainan edukatif itu tinggal.
Singgang Margono namanya. Namanya unik. Seperti nama perpaduan dari dua bahasa. Kalau Margono sudah jelas, nama Jawa. Singgang juga Jawa sepertinya, hanya mungkin dari bahasa Jawa Kuno atau malah Sansekerta.
Masih dikisaran 50 tahun usianya, dan perawakannya, tatanan gaya rambutnya, sekali lihat orang pasti tahu kalau Pak Singgang ini pastilah seorang seniman.
Seniman? Ya! Pak Singgang adalah seniman kayu. Dari tanggannya, kayu-kayu bekas tak berguna dilelesi jadi barang berharga. Jadi barang bagus. Jadi barang mahal, dan yang lebih penting lagi adalah jadi barang yang bisa memintarkan anak-anak.
Imajinasi dalam karyanya bisa menjadi basic bagi pendidikan anak. Istilah kerennya, di era Presiden Joko Widodo ini, adalah basic untuk pendidikan berkarakter.
Pria asli Jombang — dan sudah pasti menjadi pengagum Gus Dur ini — mengenyam pendidikan di ISI Jogjakarta. Jurusan yang dipilih adalah desain. Sayangnya menjadi mahasiswa ISI tak membuatnya cukup nyaman. Karena ingin bekerja maka kampus seni paling bergengsi di Indonesia ini pun dia tinggal. Saat itu semester 5 sudah dijalaninya.
“Padahal kalau mau sabar sedikit, setahun atau satu setengah tahun kemudian ijazah sarjana pasti sudah berhasil digondol pulang,” kenang Singgang Margono sembari tertawa.
Kembali ke Jombang Singgang Margono lantas benar-benar bekerja. Dia diterima bekerja di perusahaan besar yang bergelut dengan kayu. Perusahaan itu memroduksi mainan anak dan mainan edukasi anak dengan segala pernak-pernaiknya yang kemudian diekspor ke luar Indonesia. Semua produksi adalah kebutuhan ekspor dan tidak dijual untuk pasar dalam negeri.
Tiba waktunya, setelah Singgang bergabung selama 12 tahun, pabrik mengalami kesulitan finansial. Saking parahnya kesulitan itu membuat pabrik kukut alias bangkrut. Karyawan pun dirumahkan, termasuk Singgang Margono. Masing-masing lantas mendapat pesangon. Setelah itu bekas karyawan semburat menjalani hidup masing-masing.
Berbekal uang pesangon, Singgang lantas berupaya merintis usaha sendiri. Uang pesangon yang didapat dia belikan mesin kayu kecil-kecilan. Niatnya adalah berbisnis mainan kayu. Bekalnya adalah pengetahuan yang selama ini sudah dia peroleh dan kuasai teknologinya. Apalagi saat aktif di pabrik dia memegang divisi desain mainan. Maka, dalam benaknya, tentu rintisan usaha ini bisa direalisasikan dalam tempo cepat.
Sepuluh tahun lalu, persisnya tahun 2006, rintisan usaha itu berdiri. Tagline-nya adalah Kids & Play.
Untuk mencukupkan bujet rintisan usahanya Singgang lantas memutar otak. Kalau membeli bahan baku kayu seperti halnya pabrik tempat bekerjanya dulu sudah pasti tidak akan nutut. Maka dia bergerilya untuk mendapatkan bahan baku murah, caranya adalah memanfaatkan kayu bekas limbah pabrikan kayu. Kayu apa saja diterima, tidak perlu spesifikasi khusus. Entah kayu pinus, karet, jati, mahoni. dan lainnya.
“Syaratnya hanya satu thok pokoknya kayu limbah sudah dalam keadaan kayu open,” terangnya. (widikamidi/bersambung dari 3 tulisan)