Profesor Hukum UB Malang Sebut Presiden Jokowi Sudah Otoriter
Profesor Bidang Ilmu Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam Universitas Brawijaya (UB) Malang, Prof. Rachmad Safa’at menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Kepala Negara sudah otoriter atau bertindak sewenang-wenang.
Prof. Rachmad menjelaskan, keotoriteran Jokowi sangat tampak di periode keduanya sebagai Presiden Indonesia. Salah satu buktinya, kata dia, semakin lemahnya penegakan hukum dalam beberapa tahun terakhir ini.
Ia mencontohkan, seperti penindakan kasus korupsi. Prof. Rachmad mengatakan, lemahnya penindakan kasus korupsi ini karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini sudah dicengkeram oleh Presiden Jokowi.
Artinya, dari KPK yang awalnya merupakan lembaga anti-korupsi independen, kini sejak adanya revisi UU KPK berubah menjadi lembaga di bawah pemerintah pusat atau kendali langsung Presiden Jokowi.
”Kamu ditangkap, gak ditangkap, dilepas, siapa yang diselamatkan, siapa yang enggak, Jokowi yang menentukan,” kata Prof. Rachmad dalam keterangannya saat diwawancarai di depan Gedung Rektorat Universitas Brawijaya, Kota Malang, pada Selasa, 6 Februari 2024.
Lebih lanjut, Prof. Rachmad mengatakan, keotoriteran Presiden Jokowi tersebut juga tampak dalam proses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dari capres Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.
Dalam kasus itu, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UB Malang ini menilai, Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara telah menggunakan segala cara agar anak sulungnya bisa melenggang dengan mulus ikut kontestasi Pilpres 2024.
Adapun cara yang dimaksud itu, kata Prof. Rachmad, adalah dengan mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) lewat tangan kanannya agar mengabulkan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu soal batas usia capres-cawapres.
Sebagaimana diketahui, Gibran sendiri resmi dideklarasikan sebagai cawapres pendamping capres Prabowo pada Pilpres 2024 setelah MK mengabulkan uji materi UU Pemilu yang diajukan oleh mahasiswa Universitas Surakarta (UNSA) Solo bernama Almas Tsaqibbirru.
Namun, dalam perkembangannya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan hakim konstitusi Anwar Usman terbukti melanggar etik berat terkait konflik kepentingan dalam putusan MK tersebut.
Kemudian, belum lama ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU, Hasyim Asy’ari. Ketua KPU dinilai telah melanggar kode etik terkait proses pendaftaran capres-cawapres.
Selain Ketua KPU, DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada 6 Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochammad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holid.
”Melanggar etik (menurut MKMK) kok masih bisa mencalonkan. Padahal, secara hukum, putusannya kan rusak. Termasuk putusan KPU. Artinya, kekuatan-kekuatan hukum di negeri ini sudah dalam kendalinya Jokowi,” ungkapnya.
Mencermati dinamika politik tersebut, khususnya jelang Pemilu 2024, Prof. Rachmad mengatakan bahwa Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara saat ini sedang membangun apa yang namanya oligarki personal otoritarian.
”Jadi, dia (Presiden Jokowi) otoriter betul. Dia menggerakkan MK, DPR, dan TNI-Polri untuk berada dalam cengkraman politik dia. Jokowi ngomong apa saja, tidak ada yang berani mengkritik, karena otoritarian dia sangat kuat,” ucapnya.
Prof. Rachmad menerangkan, Jokowi dalam membangun oligarki personal otoritarian ini tentu tidaklah tiba-tiba. Namun, sudah lama, yakni dalam 5 tahun terakhir atau periode pertama menjabat sebagai Presiden Indonesia.
Adapun cara yang dilakukan Presiden Jokowi pada periode pertamanya, kata Prof. Rachmad, adalah dengan mengambil hati rakyat terlebih dahulu. Misalnya, dengan melakukan blusukan hingga masuk ke gorong-gorong.
Kemudian, kata dia, barulah di periode kedua melakukan keotoriterannya. ”Jadi, (Jokowi membangun oligarki personal otoritarian) ini tidak tiba-tiba. Sudah lama. Sejak 5 tahun terakhir ini. Dia otoriter betul,” ujarnya.
Oleh karena itulah, dengan melihat kondisi tersebut, Prof. Rachmad pun menilai demokrasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi ini sudah berada di ujung tanduk. Tinggal menunggu momen meledaknya saja.
”Saya katakan iya (demokrasi Indonesia) sudah di ujung tanduk karena meskipun kita bisa makan dengan tenang, tapi kita seperti mencengkram bara yang kapan saja bisa meledak. Tinggal nunggu momen tertentu saja,” tuturnya.