Prof M Ali Haidar, Saksi Forum Ulama Khos Kiai Langitan Berpulang
Prof. Dr. H. Mohammad Ali Haidar, M.A. salah seorang saksi dalam masa Reformasi dari Nahdlatul Ulama. Tokoh kelahiran Jombang ini, berperan menjadi koordinator Forum para Kiai Langitan, sebelum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terpilih menjadi Presiden pada Oktober 1999.
Terutama pada awal Reformasi, 1998, Ali Haidar bersama sejumlah tokoh seperti KH Imam Ghazali Said, Prof Shonhadji Sholeh, aktif di Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) sebagai badan otonom NU.
Dalam RMI itulah, Ali Haidar mengerahkan segala tenaga dan kemampuannya dalam mengawal NU di panggung perubahan di Indonesia.
Dalam Langitan, saat itu dikenal sebagai Forum Kiai Khos, ada para ulama pesantren. Dengan fokus utama KH Abdullah Faqih Langitan, KH Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), KH Abdul Muchith Muzadi (Jember) , KH Khotib Umat (Jember) KH Muhaimin Gunarto (Parakan Temanggung), KH Abdurrochman Chudlori (TegalrejoTegalrejo, Magelang), KH Ahmad Warson (Yogyakarta), dll.
Di samping itu, ada tokoh lain seperti KH Achmad Hasyim Muzadi, KH Ali Maschan Moesa, KH Abdulloh Schall, dll.
Tapi, umat Islam terutama kaum santri dikejutkan berita atas kewafatannya.
Mengejutkan Kaum Santri
"Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Telah berpulang ke rahmatullah, Bpk. M Ali Haidar bin H Shufri (mantan Ketua PW RMI Jatim, Guru Besar Unesa, dan suami Ibu Hj Farochah/LKBN Antara) pada hari Selasa (20 Februari 2024) pukul. 01.15 di RS Graha Amerta Surabaya."
"Jenazah akan dimakamkan di pemakanan keluarga di Pondok Pesantren Balonggading Jombang."
Demikian kabar duka yang beredar di medsos, semula diposting M Edy Ya'kub dari Antara.
Prof. Dr. H. Mohammad Ali Haidar, M.A. adalah Guru Besar Universitas Negeri Surabaya ke-44. Dengan SK Guru Besar “Agama Islam” pada tahun 2005. Beliau menjadi guru besar pada usia 60 tahun 1 bulan.
Dikukuhkan pada 27 Mei 2008. Dengan pidatonya yakni “Pesantren, Kiai dan Pendidikan di Indonesia”. Ali Haidar berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya.
Ali berbagi pengalaman dan lika-liku sebagai dosen agama di Perguruan Tinggi Umum. Terutama, ketika pengangkatan awal sebagai dosen Pendidikan Agama Islam (PAI). Bagaimana kemudian mereka melanjutkan studinya tidak di PTAI, tetapi di perguruan tinggi sesuai dengan tempat mengajarnya.
Fenomena ini disebabkan karena matakuliah PAI yang awalnya empa (4) SKS kemudian berubah menjadi dua (2) sks dalam satu semester, sehingga untuk menutupi beban kerja dosen PAI, mereka dipaksa mengajar mata kuliah non-PAI lainnya.
Kendati demikian, menurut Guru Besar UNESA sekaligus Ketua Yayasan Unsuri ini, dosen PAI juga bisa menjadi bagian dari dunia kampus, sebagai anggota senat, Pimpinan perguruan tinggi, dsb.
Bahkan yang paling sering, dosen PAI diminta untuk memimpin doa dalam setiap kegiatan kampus, menggalang kekuatan politik kampus, dsb yang akhirnya akan mengangkat wibawa dosen PAI itu sendiri.
Ali pun menganjurkan sikap harus ada perubahan cara mengajar, media pembelajaran, serta melakukan kegiatan-kegiatan tambahan berupa review novel bagi mahasiswa, semisal novel ayat-ayat cinta; Negeri lima menara; ketika cinta bertasbih; atau mereview aspek-aspek keagamaan dalam novel-novel Pramodya Ananta Toer, dsb.
Kegiatan tambahan yang dilaksanakan hendaknya bisa memberikan warna Islami dalam setiap semesternya sebagai sebuah improvisasi dan kreatifitas dari dosen PAI itu sendiri.
Dalam hal ini, Prof Ali menekankan keharusan memilih berbagai pendekatan yang digunakan, serta pentingnya menjadikan substansi agama sebagai materi pembelajaran, bukan pada simbol-simbol keagamaan dan bentuk luarnya saja, sehingga PAI bisa menjadi pendidikan motivasi bagi mahasiswa di PTU.
Karena secara normatif Pendidikan Agama Islam (PAI) di PTU hanya dua SKS, maka bagi dosen PAI yang sejati, akan menjadikan pendidikan agama ini bisa masuk di semua lini mata kuliah dengan melakukan berbagai improvisasi dan pemilihan substansi keilmuan.
Prof. Ali kembali menegaskan, Pendidikan Agama ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa improvisasi dan menghubungkan dengan aspek-aspek keagamaan dalam realitas sosial. Dengan demikian PAI justru bisa masuk ke dalam semua matakuliah.