Prof Dwi Cahyo Kartiko, dari Hobi Wujudkan Mimpi
Namanya nasib tidak ada yang tahu, semua merupakan misteri sang pencipta. Termasuk nasib Prof Dwi Cahyo Kartiko, S.Pd., M.Kes yang kini menyandang gelar profesor usai dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Ilmu Kesehatan dan Ilmu Keolahgraan (FIKK) Unesa.
Menyandang gelar profesor tidaklah mudah. Ia harus membuat penelitian yang berdampak pada masyarakat umum. Gelar itu disandangnya lewat penelitian berjudul Revitalisasi Pedagogi dan Eskalasi Kompetensi Bola Basket di Indonesia: Integrasi Functional Strength Training Atlet Muda.
Namun demikian, hal tersebut tak mengurungkan niat Cahyo untuk bisa mencapai gelar tersebut. Ia pun dikukuhkan sebagai guru besar ke-178 bidang olahraga di Unesa.
Sebagai guru besar dan juga dekan merupakan jabatan yang cukup tinggi sehingga disegani banyak orang. Bahkan, biasanya orang harus menjaga penampilannya menyesuaikan dengan gelar dan jabatan tersebut.
Itu memang dilakukan Cahyo, namun ia lebih banyak memperlihatkan dirinya yang low profile kepada siapapun. Gaya penampilannya kerap menggunakan topi, jaket, dan sepatu olahraga kadang membuat seakan tak percaya dirinya adalah seorang guru besar.
Orangnya supel, murah senyum membuat banyak orang yang senang berbincang dengannya. Ia pun selalu menymabut tamunya dengan penuh keramaian di ruang kerjanya.
Bahkan, ia pun tak segan meminta tanda tangan di berbagai bola yang dipajang di rak yang ada di ruangannya.
Beberapa nama tenar seperti Marselino Ferdinan, Fakhri Husaini, dan berbagai tamu pentingnya sudah membubuhkan tanda tangan sebagai kenang-kenangan baginya.
Wasit Terbaik, Pegang Teguh Integritas
Sebelum berkarier sebagai tenaga pendidik, Cahyo merupakan seorang wasit top yang banyak diakui banyak orang. Gelar wasit terbaik IBL pun ia dapat tahun 2007.
Wasit merupakan salah satu hobinya setelah masuk berkuliah di IKIP Surabaya atau kini Unesa di tahun 1994. Ia pun fokus mengembangkan dirinya agar bisa menjadi wasit.
Jalannya pun mendapat dukungan dari dosennya kala itu Prof Prof Abdul Rachman Syam Tuasikal yang kala itu menjadi Ketua Komite Wasit Perbasi Surabaya.
Namun, jalannya menjadi wasit penuh lika-liku. Wakil Rektor Unesa bidang Perencanaan, Pengembangan, Karja Sama, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi itu bahkan pernah dikatakan tidak layak oleh wasit senior kala itu tahun 1996.
Terasa menyakitkan di hati, namun kalimat tersebut diterimanya dengan lapang dada karena ia mengaku bahwa saat itu belum punya pengalaman di lapangan meskipun secara teori ia menguasai.
Kalimat tersebut akhirnya dijadikan sebagai motivasi untuk mempelajari bagaimana cara menjadi wasit yang baik.
Setahun berjalan pria kelahiran Sidoarjo itu pun mengikuti lisensi wasit dan ia berhasil. Ia pun berhak memimpin pertandingan bahkan di tahun 2003 ia mendapat lisensi dari FIBA (federasi basket dunia) dan memimpin berbagai pertandingan mulai dari kancah nasional hingga ke Asia.
Selain itu, ia meraih penghargaan sebagai wasit terbaik pada kompetisi IBL tahun 2007. "Saya memiliki prinsip bahwa masa depan dimenangkan oleh orang yang punya kemauan," ungkap Ketua FOPI Jatim itu.
Keberhasilannya sebagai wasit, tak lepas dari semua pelajaran yang ia terima selama ini. “Kuncinya integritas itu harus dipegang betul, tidak boleh main-main,” ungkap pria kelahiran 8 Oktober 1974 itu.
Pilih Menjadi Pendidik
Meski jadi wasit top, nyatanya Cahyo tetap memilih kembali ke jalur pendidikan sebagai pendidik. Menurutnya, wasit bukan karir namun hobi yang ia jalankan, sedangkan pendidik adalah jati dirinya selama ini.
Sejak awal ia memang bercita-cita sebagai guru. Namun, saat masuk kuliah ia memilih menjadi dosen karena dinilai lebih bebas.
Setelah lulus tahun 1998, sembari berkarir sebagai wasit ia juga menyelesaikan kuliah S2 untuk bisa menjadi dosen. Menyandang gelar magister tahun 2005 ia kemudian mencoba untuk mendaftar CPNS, namun nasib baik belum berpihak karena ia dinyatakan tidak lulus.
Dengan tekadnya, ia pun terus belajar mengasah kemampuan dirinya. Sehingga, ketika CPNS tahun 2006 ia kembali mendaftar dan dinyatakan lulus.
Sedang di puncak karir dan sering berputar keluar negeri, mantan Ketua Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia itu juga melanjutkan studinya ke jenjang lebih tinggi. Ia pun mengambil gelar doktor ilmu keolahragaan di almamaternya itu pada 2010.
Sempat terlambat karena sering keliling luar negeri sebagai wasit, ia pun menyelesaikan studinya tahun 2015. Ia yang berada di Los Angeles pun harus menyelesaikan tugasnya ditengah tugas wasit yang cukup padat.
“Saat ujian terbuka saya diberi pilihan paling berat karena penguji mengajukan pertanyaan ketika lulus apakah kembali ke kampus atau kembali sebagai wasit. Saya waktu itu dipuncak karir tapi kalau terbuat bahaya bagi saya. Akhirnya saya pilih kembali ke kampus,” aku Cahyo.
Hal itu sesuai dengan tekad awalnya sebagai pendidik. Di mana cita-cita itu sudah ia tuliskan dalam form pendaftaran ketika awal masuk kuliah, “Saya cita-citanya memang sebagai pendidik, karena saya anak kolong (polisi). Saya tidak mau jadi polisi karena bapak pas hari raya tidak pernah di rumah. Jadi saya mau jadi pendidik,” pungkasnya.
Sebagai dosen dinilainya sangat seru karena ada kebebasan jika dibandingkan guru biasa.
Advertisement