Problem Nonkeagamaan Tarwiyah
Oleh: Akh. Muzakki
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Petugas Monitoring dan Evaluasi Haji 2024.
BAGAIMANA PUN mulianya, ajaran agama tak bisa mengesampingkan problem nonkeagamaan. Ritual tarwiyah adalah salah satunya. Klir, hukumnya sunnah. Tapi kini, problem non-keagamaan menjadikan ritual ibadah itu menjadi perhatian yang cukup besar.
Kita semua memahami, tarwiyah mewujud dalam bentuk ritual menginap (mabit) di Mina pada 8 Dzulhijjah. Persis satu hari sebelum wukuf di Arafah.
Lalu, apa yang dilakukan oleh Jemaah haji dalam ritual tarwiyah itu?
Menunaikan shalat dzuhur, ashar, maghrib, isya, dan subuh di Mina. Jemaah haji yang melaksanakan ritual tarwiyah tidak meninggalkan Mina sebelum terbit matahari di hari Arafah.
Praktik Ritual Tarwiyah
Dalam kerangka ibadah haji secara lebih luas, posisi ritual tarwiyah berada di bawah ritual wukuf di Arafah karena yang disebut terakhir berhukum wajib. Pada sisi ini, diskursus tarwiyah tuntas. Namun, dalam praktik pelaksanaan tarwiyah, ada problem nonkeagamaan yang menyertai diskursus dan praktik ritual tarwiyah itu.
Munculnya problem nonkeagamaan di atas tak lepas dari posisi ritual tarwiyah dalam ketentuan ibadah haji oleh Pemerintah Indonesia. Konkretnya, pemerintah melalui Kementerian Agama RI tidak menjadikan ritual tarwiyah ke dalam ketentuan rangkaian wajib ibadah haji.
Ketika tidak dimasukkan ke dalam ketentuan rangkaian wajib ibadah haji ini, berarti tanggung jawab atas kehendak melaksanakan tarwiyah menjadi mutlak di tangan jemaah. Itu jika jemaah menghendaki ritual tarwiyah secara mandiri.
Bisa juga kehendak dan sekaligus pelaksanaan ritual tarwiyah dikelola secara berkelompok. Dan hal itu biasanya dikelola oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU).
Terlepas dari apakah kehendak dan sekaligus pelaksanaan ritual tarwiyah itu dikelola secara individual masing-masing atau berkelompok, problem hulu nonkeagamaan tarwiyah di atas segara melahirkan problem hilir-teknis nonkeagamaan lanjutan. Saya mencatat dua problem hilir-teknis nonkeagamaan lanjutan dimaksud.
Pertama, problem transportasi untuk kepentingan mobilisasi jemaah. Mengangkut jemaah haji dalam jumlah ribuan, bahkan bisa ratusan ribu, dari sektor tinggal masing-masing di Makkah ke Mina tidak semudah seperti mengelola studi tur atau studi banding atau bahkan wisata ziarah di Indonesia.
Sebab, untuk bisa mengantar jemaah haji untuk masuk ke Armuzna (singkatan dari tiga nama lokasi: Arafah, Muzdalifah, dan Mina), tidak semua bis bisa melakukannya. Hanya bis yang memiliki tashrih (semacam free pass atau surat izin) yang akan diizinkan melintasi atau memasuki kawasan Armuzna.
Nah, untuk bisa memiliki tashrih itu, bis harus merogoh kocek dalam-dalam sebesar 14 ribuan riyal. Karena itu, hanya bis khusus yang bisa mengantarkan jemaah haji masuk ke Armuzna.
Pertanyaannya, bis mana yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan mobilisasi jemaah untuk ritual tarwiyah? Tentu bis yang sebelumnya sudah memiliki tashrih dari otoritas Arab Saudi dalam kerangka pelaksanaan ibadah haji 2024. Bukan bis selainnya yang harus terlebih dulu membayar uang sebesar 14 ribuan riyal hanya untuk kepentingan mendapatkan tashrih dalam kepentingan sekadar pelaksanaan ritual tarwiyah.
Di sinilah problem transportasi beririsan dengan problem finansial. Karena bagaimanapun, ada irisan bisnis-ekonomi di balik problem transportasi ini. Khususnya dalam proses pemerolehan tashrih dimaksud. Dan tentu semua itu menjadi tanggung jawab jemaah secara total. Dan pada titik inilah, jemaah haji harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membiayai pelaksanaan ritual tarwiyah yang dihendakinya.
Kedua, problem ketersediaan layanan dan pendampingan kesehatan. Kalau jumlah jemaah yang berangkat ke Mina untuk melaksanakan tarwiyah itu kecil, kebutuhan terhadap layanan dan pendampingan kesehatan oleh tim ahli kesehatan pasti tidak terlalu besar.
Namun, saat mobilitas jemaah ke tarwiyah itu dalam jumlah yang cenderung besar, maka pendampingan kesehatan dari ahlinya adalah sebuah keharusan.
Apalagi, dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini, jumlah jemaah haji yang masuk kategori risti (atau risiko tinggi) masih cukup besar. Baik risti di sini dalam pengertian lansia (berusia 60 tahun lebih) maupun mereka yang memiliki faktor risiko dan gangguan kesehatan yang potensial menyebabkan keterbatasan.
Anjuran dan nasehat sejumlah tokoh agama, baik yang bertugas menjadi pembimbing ibadah maupun mentor nonformal keagamaan haji, agar jemaah melaksanakan ritual tarwiyah, dalam faktanya, memang mendorong jemaah haji dalam jumlah yang makin membesar untuk melaksanakannya. Karena itu, siapapun seyogyanya mempertimbangkan problem nonkeagamaan, baik hulu maupun hilir-teknis di atas.
Sebab, isunya bukan lagi soal basis keagamaan, melainkan sudah melintasinya. Mulai soal potensi gangguan kesehatan akibat kelelahan yang mungkin timbul pada diri jemaah, hingga potensi tertinggalnya jemaah di luar Arafah pada saat pelaksanaan wukuf di Arafah.
Inilah yang menjadi konteks kebijakan pemerintah Indonesia tidak memasukkan ritual tarwiyah ke dalam ketentuan rangkaian wajib ibadah haji.
Karena itu, bagi jemaah yang berketetapan hati untuk melaksanakan ritual tarwiyah harus betul-betul secara kuat dan cermat memitigasi dan menyiapkan solusi konkret atas problem nonkeagamaan di atas.
Jangan sampai saat wukuf di Arafah yang berhukum wajib justeru terlewat akibat problem teknis nonkeagamaan yang tidak jeli dihitung.
Kelelahan fisik, molornya perjalanan untuk masuk Arafah dan lemahnya manajemen transportasi adalah problem teknis nonkeagamaan yang harus diantisipasi betul.
Problem nonkeagamaan di atas bisa jadi hanya sekadar tantangan jika solusi teknis bisa ditemukan dengan tuntas. Namun, problem itu akan menjadi musibah saat kata tuntas tak pernah hadir dalam usaha menyelesaikannya. Sebab, problem teknis nonkeagamaan itu multidimensional, dari transportasi, konsumsi hingga kesehatan jemaah haji.
Semua orang tak pernah ingin bermasalah dengan ibadah hajinya karena yang wajib justeru terkalahkan oleh yang sunnah akibat salah strategi pengelolaan.
Advertisement