Pro Kontra Sterilisasi Kucing: Pengendalian Populasi vs Kontraindikasi
Ira Sari Yudaniayanti
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Memelihara kucing memiliki banyak manfaat yang dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia. Selain menjadi teman setia, hewan berbulu ini bisa membuat hari-hari di rumah jadi lebih berwarna. Bahkan beberapa studi menyebutkan bahwa memelihara kucing memberikan manfaat untuk kesehatan mental dan fisik, bahkan meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun demikian, selain memiliki manfaat, memelihara kucing nyatanya juga menyimpan tantangan yang harus dihadapi.
Tingginya minat memelihara kucing di kalangan masyarakat tidak menutup kemungkinan akan memacu adanya overpopulasi, sebab kucing memiliki tingkat reproduksi yang tinggi. Berdasarkan survei World Society for the Protection of Animal, Indonesia menempati peringkat kedua dari 58 negara dengan populasi kucing terbanyak, yaitu sekitar 15 juta ekor. Populasi kucing yang tidak terkendali atau overpopulasi akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan kesejahteraan hewan. Tidak hanya itu, overpopulasi juga bisa berdampak gangguan pada lingkungan serta dapat menjadi sumber penularan penyakit dari hewan ke manusia atau yang disebut dengan zoonosis seperti toksoplasmosis dan rabies.
Salah satu solusi untuk memecahkan permasalahan di atas adalah melakukan tindakan sterilisasi pada kucing baik pada jantan maupun betina. Sterilisasi adalah pengangkatan organ reproduksi dengan tujuan untuk membatasi kelahiran. Sterilisasi kucing jantan biasa disebut dengan neuter, dikenal juga dengan istilah kastrasi atau kebiri. Sementara itu, pada kucing betina, sterilisasi disebut dengan istilah spay atau yang dikenal dengan istilah ovariohisterktomi.
Neuter adalah prosedur pengangkatan testikel pada kucing jantan, yaitu organ reproduksi yang bertanggung jawab untuk produksi sperma, perkembangan sperma, dan produksi hormon utama pejantan, yaitu testosterone. Sementara spaying merupakan tindakan operasi yang melibatkan pengangkatan organ reproduksi betina yang berperan dalam penghasilan sel telur, perkembangan janin, dan hormon hormon betina, terutama oestrogen dan progesteron. Kedua prosedur ini pada akhirnya pasti akan menyebabkan penurunan kadar estrogen pada betina dan kadar testosterone pada pejantan. Kondisi ini analog dengan kondisi wanita menopause, di mana disinyalir menyebabkan risiko terjadinya gangguan kesehatan tulang sangat besar. Hal inilah yang menjadi banyak pertanyaan baik oleh pemilik hewan maupun para pakar yang tergelitik untuk melakukan penelitian apakah gangguan tulang ini juga akan terjadi pada hewan yang dilakukan steril.
Beberapa studi telah banyak yang melakukan penelitian tentang dampak sterilisasi kucing baik pada betina dan jantan. Namun demikian, hasil yang disampaikan masih menimbulkan kontroversi terutama terkait umur yang ideal untuk dilakukan steril. Pasalnya, belum banyak data yang menyampaikan dampak jangka panjang prosedur sterilisasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan hewan. Jika berdasarkan teori, sterilisasi yang ideal dilakukan pada umur di bawah 1 tahun, karena akan mencegah terjadinya ketidakseimbangan hormonal yang nantinya akan berdampak pada gangguan kesehatan hewan tersebut. Beberapa penyakit yang disinyalir dapat terjadi akibat prosedur sterilisasi yaitu adanya gangguan pada organ perkemihan salah satunya adalah timbulnya risiko terjadinya urolithiasis (adanya batu pada saluran kencing). Kemudian juga adanya risiko penurunan massa tulang yang berkembang menjadi osteoporosis, juga adanya obesitas yang menjadi pemicu timbulnya risiko penyakit diabetes melitus.
Beberapa penelitian telah banyak menunjukkan bahwa sterilisasi yang dilakukan di bawah umur 1 tahun tidak menunjukkan adanya kelainan pada tulang, baik berdasarkan hasil pemeriksaan X-ray maupun pemeriksaan darah untuk penanda osteoporosis yaitu dengan pemeriksaan kadar osteokalsin serum. Sementara itu, untuk perkembangan penyakit yang lain seperti urolithiasis maupun inkontinensia urin (kesulitan mengendalikan buang air kecil, sehingga urin keluar tanpa disengaja) banyak faktor lain yang memicu timbulnya gangguan urinasi tersebut. Sehingga, masih perlu dianalisis lebih lanjut tentang dampak sterilisasi terhadap kejadian kasus penyakit tersebut. Sedangkan, kejadian obesitas memang merupakan dampak yang paling sering muncul setelah dilakukan steril. Namun, hal ini bisa dikendalikan dengan mengatur pola makan yang baik dan benar sesuai dengan porsi dan aktivitas kucing.
Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan selama ini, sebagian besar hanya menggunakan data pada kucing sekitar umur 5-6 tahun dan jarak antara prosedur steril dengan waktu dilakukan uji kesehatan hanya sekitar 2-3 tahun saja, sehingga tidak cukup waktu untuk mengevaluasi yang akurat tentang dampak jangka panjang yang mungkin ditimbulkan oleh tindakan sterilisasi. Belum ada data yang menyampaikan dampak sterilisasi pada hewan tua yaitu di atas umur 10 tahun. Hal ini kemungkinan terjadi karena terbatasnya jumlah kucing tua pasca steril yang dapat digunakan sebagai bahan studi. Peneliti lain juga menyampaikan bahwa penyakit-penyakit yang terkait dampak negatif dari sterilisasi tidak pernah dilaporkan. Kemungkinan karena ada hubungannya dengan masa hidup kucing yang pendek yaitu hanya sekitar 10-12 tahun, sehingga dampak jangka panjang dari sterilisasi tidak muncul atau berkembang.
Berdasarkan hal tersebut, kesimpulannya adalah bahwa sterilisasi kucing masih menjadi solusi yang terbaik dalam mengendalikan populasi kucing dan dampak terhadap gangguan kesehatan tulang maupun penyakit yang lain belum terbukti sampai saat ini. Dan yang penting juga untuk dicatat bahwa sterilisasi membawa manfaat. Seperti dapat mengendalikan populasi, mengurangi spraying pada kucing jantan untuk menandai area yang sangat mengganggu pemilik, pengurangan risiko kanker mammae dan masalah reproduksi lainnya. Manfaat tersebut seringkali lebih signifikan daripada potensi risiko pada tulang atau penyakit yang lain. Dan yang perlu diperhatikan sterilisasi pada usia muda lebih direkomendasikan dengan pengaturan pola pakan akan mengurangi risiko obesitas.(*)
Advertisement