Pria dengan Nama Ahmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit
Dipa Nusantara Aidit, yang lahir dengan nama Ahmad Aidit pada 30 Juli 1923 di Pulau Belitung, adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah politik Indonesia. Sebagai anak sulung dari Abdullah Aidit dan Mailan, ia dibesarkan dalam keluarga yang terlibat dalam pergerakan politik.
Ayahnya, Abdullah Aidit, pernah memimpin gerakan pemuda melawan kolonialisme Belanda di Belitung dan kemudian menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung.
Aidit, yang semasa kecil akrab dipanggil "Amat," dididik dalam sistem pendidikan kolonial Belanda dan menamatkan sekolah di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Bangka. Setelah itu, ia pergi ke Jawa dan tinggal dengan Isa Anshari, seorang tokoh Islam dari Maninjau, Sumatera Barat, yang telah lama tinggal di Bandung.
Aidit kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dagang (Handelsschool) dan mulai terlibat dalam politik melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda, yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menjelang dewasa, ia mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit dan memainkan peran penting dalam perkembangan PKI. Pada tahun 1951, ia diangkat sebagai Sekretaris Jenderal PKI dan memimpin partai tersebut hingga menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok.
Di bawah kepemimpinannya, PKI berkembang dengan pesat dan menjadi kekuatan besar dalam politik Indonesia, terutama melalui organisasi-organisasi massa seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
PKI di bawah Aidit mendapatkan dukungan kuat dalam Pemilu 1955 berkat program-programnya yang menyasar rakyat kecil. Kedekatan Aidit dengan Presiden Sukarno juga meningkatkan pengaruh PKI di panggung politik nasional, terutama setelah berakhirnya sistem parlementer pada 1957.
Namun, pada tahun 1965, Aidit dituduh sebagai dalang di balik Peristiwa G-30-S/PKI, sebuah insiden penculikan dan pembunuhan enam jenderal di Jakarta. Peristiwa ini memicu gelombang pembantaian besar-besaran terhadap anggota PKI dan simpatisannya, yang dikenal sebagai pembantaian 1965-1966. Dipa Nusantara Aidit akhirnya dieksekusi pada 22 November 1965 oleh militer.
Kematian DN Aidit
Kematian Dipa Nusantara Aidit memang masih menyisakan banyak misteri dan terdapat beberapa versi yang beredar mengenai peristiwa tersebut.
Versi pertama, yang paling banyak dikenal, menyebutkan bahwa Aidit ditangkap di Jawa Tengah, tepatnya di Solo, pada November 1965 setelah melarikan diri pasca kegagalan Gerakan 30 September.
Ia kemudian dibawa ke Boyolali oleh pasukan dari Kostrad. Di sebuah lokasi dekat sumur, Aidit diberi waktu sekitar setengah jam sebelum dieksekusi. Menurut cerita ini, ia menggunakan waktu tersebut untuk memberikan pidato berapi-api yang memprovokasi kemarahan tentara. Karena emosi yang tak terkendali, para tentara akhirnya menembaknya hingga tewas di tempat itu.
Versi kedua menyatakan bahwa Aidit tidak hanya ditembak, tetapi diledakkan bersama rumah tempat ia ditahan. Versi ini memberikan gambaran bahwa eksekusinya dilakukan secara brutal, dan ledakan tersebut menghancurkan tubuhnya.
Meski terdapat perbedaan cerita tentang bagaimana ia dieksekusi, satu hal yang sama dalam kedua versi adalah bahwa sampai saat ini, keberadaan jenazah D.N. Aidit tetap tidak diketahui secara pasti. Tidak ada informasi yang jelas tentang di mana ia dimakamkan, menambah lapisan misteri terhadap akhir hidupnya.
Kedua versi ini mencerminkan betapa peristiwa seputar Gerakan 30 September dan pembantaian pasca-peristiwa itu meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab secara resmi dalam sejarah Indonesia.